Mahbub Djunaidi Sang Murabbi Kader PMII

Pada tanggal 27
juli 1933 M atau 3 Rabiul Akhir 1352 H, Bumi Betawi menjadi saksi atas lahirnya sang murobbi, Mahbub Djunaidi
namanya. Sebuah keistimewaan, terlahir
dari figur ayah yang religius dan nasionalis serta memiliki garis keturunan
ulama yang bernama Kyai Abdul Aziz (Kwitang). Beliau merupakan anak pertama
dari pasangan KH. Muhammad Djunaidi dan Ibu Nyai Muchsinati. Semasa kecil,
beliau dibawa keluarganya pindah ke Solo karena pada masa
itu Jakarta mengalami gejolak yang luar biasa.
Semasa kecil, beliau menempuh pendidikan di lembaga pendidikan formal dari SD sampai SMP di Solo. Selain itu, beliau juga menempuh pendidikan di Madrasah Mambaul Ulum. Disanalah, beliau di didik oleh seorang kyai bernama Amir. Dalam mendidik sang murobbi, kyai Amir menyuguhkan berbagai fan keilmuan mulai dari nahwu dan shorof (gramatika Bahasa Arab), sampai dengan sastra dan sejarah bahkan beliau juga diharuskan menghafal Kitab Barzanji yang berisi tentang sejarah ringkas Nabi Muhammad. Pada tahun 1948, beliau berpindah ke Jakarta dan melanjutkan pendidikanya di SMA Budi Utomo. Berbekal dari keilmuan yang didapatkan semasa kecil, tumbuhlah rasa kecintaan beliau untuk membuat sebuah karya tulis. Terlebih ketika beliau menempu pendidikan di Universitas Indonesia, kepiawayannya dalam hal menulis terus berkembang. Namun, beliau terpaksa berhenti dari masa belajarnya di tingkat perguruan tinggi karena ayahnya wafat diusia 45 tahun dan ibu nya wafat lebih dulu di usia 30 tahun.
Menelisik manaqib (sejarah kehidupan) beliau, alfaqir teringat dengan maqolah yang mashur di kalangan kaum sarung :
لول المرب ما عرفت ربي
“Andaikan tidak ada guru (pendidik), niscaya
aku tidak akan tahu siapa Tuhanku”
bagi
alfaqir, figur seperti Mahbub Djunaidi pantas mendapatkan gelar sang murabbi.
Dengan pemikirannya dan jerih payahnya, mampu memberikan pencerahan kepada
manusia, untuk terus memperbaiki kualitas dirinya dan pada akhirnya mengenal
lebih jauh dan dalam terhadap penciptanya. Sepanjang hidupnya, beliau
berkomitmen untuk menyampaikan sebuah kebenaran, yang merupakan representasi
beliau dalam mensyiarkan nilai-nilai ke-Islaman melalui tulisan. Hal ini
dibuktikan dengan salah satu karya tulisnya pada tahun 1980 yang berjudul
“Sejak kapan rakyat kecil bikin rumah harus pakai arsitek ? “. Tulisan
tersebut, menggambarkan keberpihakan beliau kepada rakyat yang pada saat itu
akan mengalami kesulitan yang disebabkan oleh rencana pemerintah pada saat itu
akan mengeluarkan peraturan yang mewajibkan rakyat ketika membuat rumah harus
memakai jasa arsitek yang memiliki izin bekerja yang dikeluarkan oleh Gubernur.
Selain itu, rakyat juga harus menggunakan jasa pemborong yang memiliki izin
bekerja ketika membangun rumah. Peraturan tersebut akan menciptakan kesulitan
bagi rakyat ketika kondisi kehidupannya masuk dalam kategori menengah kebawah
yang notabenya kondisi ekonomi mereka tidak stabil. Bahkan untuk memenuhi
kebutuhan harian saja, rakyat mengalami kesulitan yang luar biasa.
Komitmen beliau untuk selalu berpihak kepada rakyat melalui
perantara tulisan, merepresentasikan sebuah tugas manusia untuk membantu
manusia lainnya. Seperti yang diamanatkan oleh Al-Qur’an dalam surat al-Maidah
ayat 2:
وَتَعَاوَنُوۡا عَلَى الۡبِرِّ وَالتَّقۡوٰى ۖ وَلَا تَعَاوَنُوۡا عَلَى
الۡاِثۡمِ وَالۡعُدۡوَانِ ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ؕ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيۡدُ
الۡعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.
Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.
Karena
pada hakekatnya, pemerintah yang dinobatkan sebagai pemimpin, seharusnya mampu membuatkan
kebijakan yang beorientasi kepada kemaslahatan yang pada akhirnya mampu
mewujudkan keadilan bagi rakyatnya. Dan ketika tidak demikian, kritik adalah
sebuah keharusan yang menjadi bagian dari
amar makruf nahi mungkar. Sebagaimana fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga fatwa
Darul Ifta Jordan :
اَلنَّقْدُ فِي الْأَصْلِ تَقْدِيْمُ النُّصْحِ وَالْمُلَاحَظَاتِ بَعْدَ
النَّظَرِ وَالتَّمْحِيْصِ. وَهُوَ أَمْرٌ مَشْرُوْعٌ فِي الْاِسْلَامِ، بَلْ
اِنَّهُ مَطْلُوْبٌ، وَهُوَ مِنْ صُوَرِ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ
عَنِ الْمُنْكَرِ
Kritik pada dasarnya adalah memberikan nasihat dan komentar setelah adanya
pertimbangan dan observasi. Kritik merupakan perbuatan yang disyariatkan dalam
Islam, bahkan dianjurkan. Kritik juga menjadi bagian dari amar makruf dan nahi
mungkar.
Selain tulisan diatas, masih banyak pemikiran beliau yang
dituangkan dalam tulisan lestari sampai saat ini & patut kita baca untuk
mengingatkan kiprah beliau dimasa lalu dan menjadi referensi kita dalam menjajaki proses menempu
jalan hidup. Sebagai kader PMII, sangatlah patut bagi alfaqir untuk mengenal
lebih dalam sang murobbi sebagai tokoh pergerakan dengan segudang prestasinya.
Melalui PMII, beliau mendedikasikan dirinya dengan asset perjuangan beliau yang
begitu banyak sehingga terwujudnya kader yang intelektual dan berbudi luhur.
Dari sang murabbi, dapat kita ambil ibrohnya. Bahwa menjadi kader PMII tidak cukup pandai beretorika dengan kata-kata tanpa perjuangan nyata. Sebagai bagian dari PMII, alfaqir mengajak kepada sahabat sekalian, untuk terus ikut serta melestarikan sejarah perjuangan sang murabbi dengan memperbanyak asupan literasi, sehingga kita mampu menjadi sosok murabbi dimasa kini dengan berkontribusi memberikan sumbangsih ide dan gagasan yang memberikan manfaat bagi bangsa dan Negara.
Penulis: Faizal Basri
Editor: Ach. Khoirir Ridha
0 Response to "Mahbub Djunaidi Sang Murabbi Kader PMII"
Post a Comment