Relasi Muslim-Nonmuslim dalam Bingkai Maqashid as-Syariah
![]() |
Sumber: Ma'had Aly Situbondo |
Kendati menuai kritik bahkan hujatan dari umat Islam sendiri, senyatanya pemandangan itu sebagai sebuah curahan persaudaran terhadap nonmuslim. Dari satu ilustrasi di atas kita melihat dua hal sekaligus. Satu sisi, kita melihat bahwa relasi muslim-nonmuslim begitu harmonis. Pada posisi lain, masih ada orang yang tidak suka dengan kerukunan tersebut dan hubungan yang resiprokal. Tuduhan utamanya biasanya penjagaan terhadap gereja diasumsiakan telah menggadaikan keimanan.
Faktanya, membangun hubungan yang harmonis dengan nonmuslim tidak meniscayakan tergadainya keyakinan. Hemat saya, keimanan adalah sesuatu yang tertanam di dalam hati. Implikasinya tidak ada orang lain yang dapat menilai entitas yang satu ini. Ia adalah sesuatu yang mestinya dihayati, bukan untuk dinilai dari luar. Saya juga percaya, orang yang berteman baik dengan nonmuslim tidak akan mengurangi imannya secuil saja.
Persoalan yang umum dikemukakan terkait relasi tersebut adalah perihal eksistensi keimanan. Muncul pertanyaan, bagaimana kita mempertahankan keimanan kita ketika berhubungan dengan orang nonmuslim? Atau pertanyaan yang lebih radikal, bagaimana kita dapat mengekspansi dan menyebarkan agama Islam jika tidak dengan mengajak mereka memeluk agama kita? Pertanyaan pertama adalah ranah personal dan setiap muslim mempunyai jawaban yang personal pula.
Untuk menjawab pertanyaan substansial kedua, kita harus berangkat dari tuntutan menyebarkan Islam. Tarulah bahwa seruan memeluk Islam adalah sebuah keharusan sebagai upaya ekspansi. Namun yang patut diingat ini biasanya sering dilupakan banyak orang bahwa seruas tersebut tidak membuat efek domino. Seumpama relasi kita dengan saudara nonmuslim menjadi buruk musabab seruan memeluk agama Islam, maka itu penting dipikir matang-matang kembali.
Rasa-rasanya tidak efektif menyebarkan Islam tapi harus mengorbankan keharmonisan persaudaraan. Hal kedua yang perlu senantiasa kita ingat bahwa secara sosiologis, muslim tidak dapat mengingkari hubungan dengan mereka. Seterusnya, saya akan mengambil sebuah diktum besar mqashid as-syariah, untuk diterapkan dalam hal ini. Tidak lain adalah ‘menolak mafsadat dan menggapai maslahat’(dar’u al-mafasid wa jalb al-mashalih).
Tujuan pokok dari syariat Islam tergambarkan di dalam diktum besar tersebut. Saya tidak akan memperincinya dan membahas ihwal ‘lima maksud dasar’. Namun, siapa saja yang mengatasnamakan syariat Islam, namun secara faktual tidak membawa maslahat atau malah merusakan hubungan relasional, kita kemudian patut curiga. Benang merahnya adalah dakwah dan ajakan semacam itu menyalahi prinsip maqashid, karena tidak maslahat bagi seluruh manusia. Maka diperlukan cara-cara lain dalam mengajak mereka dan menyebarkan agama kita.
Syariat sebagai sebuah jalan menuju kemasalahatan, tidak hanya bagi orang muslim melainkan bagi nonmuslim. Kiranya sampai di sini jelas bagaimana mengemas relasi muslim-nonmuslim dengan tidak melanggar preskripsi umum dari syariat dan tujuan pokoknya. Tidak mesti kita harus mengajak mereka untuk memeluk agama kita, jika pada puncaknya melahirkan hal naif. Cukup kiranya beriringan dan bergandengan tangan untuk mewujudkan kemasalahatan bersama, alih-alih saling rebutan pengikut.
Untuk sampai pada puncak itu, satu-satunya cara yang mungkin adalah menekan ego. Tidak masalah bahwa kita mengimani agama kita yang paling benar. Hanya saja hal tersebut tidak sampai menafikan keberadaan agama lain. dengan ungkapan berbeda, benar tanpa harus menyalahkan yang lain. Dengan seperti inilah relasi muslim-nonmuslim dapat terjalin dengan baik. Tentunya dikemas dalam bingkai maqashid as-syariah, yang kemaslahatannya tidak hanya untuk kita, melainkan untuk mereka juga.
Penulis: Moh. Rofqil Bazikh, BSOR L-Pab
0 Response to "Relasi Muslim-Nonmuslim dalam Bingkai Maqashid as-Syariah"
Post a Comment