Al-Ghazali dalam Mosaik Intelektual Islam
![]() |
Ashrambangsanews |
Dalam Ihya’ Al-Ghazali
mengkombinasikan antara fikih dan tasawuf. Metode penulisan yang seperti ini
hampir tidak pernah dijumpai dalam buku-buku islam klasik sebelumnya. Begitu
proposional ia menempatkan letak pembahasan antara ilmu materiil dan imateriil.
Dalam menentukan judul di tiap babnya, ia memilih diksi yang mengindikasikan
bahwa sebenarnya tidak ada titik diferensial antar tiap ilmu keislaman.
Jika dalam kitab konvensional lain berbunyi
‘hukum-hukum sholat’ maka berbeda dengan Al-Ghazali, ia justru memilih diksi
‘rahasia-rahasia sholat’, kemudian menjelaskan tentang syarat yang berkaitan
dengan luar diri (zahir) lantas
menjelaskan syarat yang berkaitan dengan dalam diri (batin). Inilah yang dewasa ini barangkali disebut dengan
integrasi-interkoneksi dalam catur keilmuan islam.
Al-Ghazali merupakan sosok yang komplit dan
sukar ditemukan padanannya. Ia ahli dalam banyak bidang keilmuan Islam. Ia
seorang filsuf, dibuktikan dengan karyanya yang bernama Maqasid Al-Falasifah
dan Tahafut Al-Falasifah. Buku kedua ini yang di masa mendatang
dikomentari oleh Ibnu Rusyd dengan judul Tahafut At-Tahafut. Al-Ghazali ahli
di bidang tasawuf. Ia menganggit banyak sekali buku-buku tasawuf seperti, Ihya’
Ulumiddin, Minhajul Abidin dan Misykatul Anwar.
Dalam ushul fikih, ia mengarang buku Al-Mustshfa
fi Ilm Al-Ushul yang menjadi referensi metode pengambilan hukum islam ala
mazhab Syafi’i. Al-Ghazali juga seorang fukaha, ia mengarang buku Al-Wajiz dan
Al-Basith. Ia juga seorang teolog, dengan karaynya yang masyhur, Al-Iqtiqod
fil Al-Iqtishod. Ia juga pernah mengomentari kelompok yang menuduhnya sesat
dalam akidah, sehingga muncul buku yang berjudul Faishal At-Tafriqah.
Di Al-Munqid min Al-Dlalal yang merupakan autobiografinya, ia
menyebutkan ada empat model ‘pencari Tuhan’. Pertama, teolog. Kedua, ahli
kebatinan. Ketiga, filsuf. Keempat, sufi. Ajaibnya, secara runtut ia
memperlajar fase itu semua. Setelah dirasa bahwa teologi tidak cukup dijadikan
sebagai metode ‘mencari tuhan’, ia kemudian mempelajari ilmu kebatinan yang
sangat popular di kalangan Syiah Ismailiyah. Tetapi baginya ajaran ini masih
belum bisa menunjukan hakikat Tuhan.
Sembari mengajar di madrasah Nizamiyah dengan
tiga ratus murid yang kesemuanya adalah ulama’, secara otodidak Al-Ghazali
mempelajari inti filsafat. Sama seperti sebelumnya, filsafat juga masih belum
mampu menjawab hakikat ketuhanan. Pada akhirnya ia mempelajari ilmu tasawuf. Baginya
tasawuf mampu mengkombinasikan antara ilmu dan praktek. Hasil dari praktek itu
bersih dari etika buruk yang puncaknya nanti adalah hati nurani yang hanya
terisi Tuhan.
Meski banyak dedikasi yang diberikan
olehnya, tidak sedikit pula orang yang mencercanya. Bahkan disebut bahwa
Al-Ghazali adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kemunduran peradaban
islam. Adapun dalihnya adalah bahwa dengan corak tasawufnya manusia menjadi
membenci dunia (dzamm ad-dunya), hidup tidak realistis karena senantiasa
berteodisi, mengikutsertakan Tuhan dalam mobilitas kehidupan. Ini yang membuat
manusia, secara khusus muslim bermalas-malasan dalam semangat intelektual.
Kendati pun demikian, kritik dan cercaan itu muncul jauh setelah wafatnya Al-Ghazali. Sehingga jawaban yang cocok untuk menanggapi hal itu adalah perkataan bijak bestari Arab, Idza Ikhtalafa An-nasu baina qadihin wa madihin, fa’lam annaka tatakallam an syakhsin adzim. (Ketika ada manusia yang mencaci dan memuji, maka ketahuilah mereka sedang membicarakan seorang yang mulia). Pemikiran Al-Ghazali sampai sekarang tak pernah habis dibahas, ini lah bukti bahwa sisa peradaban islam masih menyala.
Penulis: iMusthafa Kamal, anggota rayon Ashram Bangsa 2022
0 Response to "Al-Ghazali dalam Mosaik Intelektual Islam"
Post a Comment