Mengapa Saya Tidak Membaca?
![]() |
ashrambangsanesw |
Jauh di sebuah daerah, untuk
membaca tidak semudah membolak balik tangan. Untuk mendapatkan bacaan-bacaan
yang bagus, atau paling tidak layak, harus berjuang terlebih dahulu. Entah
membeli dengan mengunjungi toko di kota atau bahkan—ini yang sering
dilakukan—meminjam kepada mahasiswa yang merantau. Apa, perpustakaan? Tentu
tidak akan pernah Anda temukan perpustakaan di setiap sudutnya. Ini persoalan
yang serius dan kadang dianggap main-main. Minim sekali orang di daerah (desa
lebih tepatnya) itu yang memahami persoalan ini, kepala pemerintah daerah sekali
pun. Sementara saya, belasan tahun hidup di lingkungan yang seperti itu. Tentu biasa
saja, maksudnya tidak membaca adalah hal yang biasa.
Ketika saya sudah mendapat
kesempatan untuk melanjutkan kuliah ke kota perlahan saya sadar. Persoalan
tidak membaca ini adalah persoalan yang serius. Persoalan minimnya akses untuk
membaca inilah yang harus segera diatasi, saya berhap kepala daerah membaca
ini. Memang benar, bagi orang di desa saya itu, tidak membaca adalah ihwal dan
persoalan yang biasa saja. Baik, itu bisa dimaklumi, mereka tidak pernah
mengenal Milan Kundera yang dengan tegas berucap “Untuk menghancurkan sebuah
bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya, maka pasti bangsa itu akan
musnah.” Dan tentu tidak sedikit dari mereka yang melupakan kisah tentang nabi
dan Jibril dalam transfer wahyu pertama.
Namun, untuk menyalahkan
mereka sendiri (per se) merupakan
sesuatu yang menurut saya paling naif. Mereka adalah orang yang sama sekali
tidak tahu apa-apa dan orang yang tidak tahu apa-apa tidak pernah bisa dihukum
atas nama ketidaktahuan. Setidaknya, beberapa orang yang paham betapa
pentingnya membaca itu bisa turun tangan, menyelesaikan problem ini. Ini problem
yang serius, meski (sekali lagi) sering tidak dipandang sebagai sebuah hal yang
problematik. Jadi, wajar ketika saya ditanya “Mengapa Anda tidak membaca?”
dengan tegas menjawab “Karena tidak ada bacaan.”
Itu tidak hanya berlaku untuk saya,
ada banyak orang di sekitar saya yang mungkin akan mengalami hal yang sama.
Anak-anak sekolah dasar, anak-anak sekolah menengah pertama, anak-anak sekolah
menengah atas, juga mungkin mengalami keresahan yang serupa. Sesuatu yang lebih
mirip dengan aib ketika diceritakan. Makanya, tidak banyak orang bercerita
perihal ini, atau bahkan membahasnya. Hal ini seperti aib yang ditutup-tutupi
sendiri, seperti penyakit akut yang enggan untuk dibawa ke dokter atau bahkan
sekadar bertanya obat apa yang pantas. Akibatnya, penyakit itu akan mematikan
ketika sudah sampai pada saatnya, peradaban daerah akan merosot drastis dan
anjlok.
Tentu, berbeda dengan apa yang
terjadi di kota, tempat di mana saya melanjutkan jenjang pendidikan. Saya
menemukan banyak ruang untuk sekadar membaca, meksi saya bukan pembaca yang
ulung dan tahan lama. Namun, saya senang dengan adanya ruang itu, betapa
benar-benar difasilitasi untuk sekadar membaca hal-hal yang memang layak. Kontras
dengan apa yang ada di desa saya dan tidak pernah sama. Inilah akibat dari
tidak meratanya sebuah usaha untuk meningkatkan literasi bangsa, banyak lubang
dan compengnya. Dan ketika bahan bacaan tersedia sedemikian rupa, tidak ada
lagi alasan untuk tidak membaca. Saya sadar, alasan “Tidak ada bahan bacaan”
yang sering saya lontarkan di desa sudah tidak relevan di kota. Tetapi, menurut
saya bukan hanya di kota, belakangan di desa demikian pula.
0 Response to "Mengapa Saya Tidak Membaca?"
Post a Comment