Resensi Buku Anak-Anak Revolusi Jilid 1 Karya Budiman Sudjatmiko
![]() |
Karena Kata |
Membaca buku Anak-Anak
Revolusi adalah membaca kenangan-kenagan para aktivis terdahulu, mengetahui
betapa kejamnya rezim yang berkuasa tanpa memikirkan nasib-nasib rakyatnya.
Pikirannya hanya kekuasaan dan mengangungkan dirinya, seolah-olah tak ada yang
bisa melawannya. Semuanya harus tunduk, melawannya akan dibunuh tanpa ampun.
“Perjuangan melawan kekuasaan
adalah perjuangan melawan lupa”, begitulah kata penyair Milan Kundera. Pada
bulan Juli 1996, Munir, yang pada saat itu mejadi Direktur Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), meminta Budiman dan kawannya yakni Kurniawan
untuk datang ke kantornya, pada keesokan harinya mereka datang memenuhi
panggilan. Sekjen PRD juga ikut, Petrus.
Sebelum masuk pada apa yang akan
di diskusikan oleh Munir, alangkah lebih baiknya jika kita mengetahu siapa itu sosok
lelaki yang di terkenal dengan pejuang HAM ini. Munir adalah aktivis HAM yang
pada awal-awal reformasi 1998 banyak mengampayekan pencarian para aktivis yang
hilang, dan pada akhirnya Munir dibunuh dengan racun dalam penerbangan dari
Singapure ke Amsterdam.
Munir menyampaikan informasi penting yakni mengenai Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang akan dugulung oleh rezim orde baru. Partai Rakyat Demokratik di deklarasikan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 1996. Asas PRD adalah organisasi Sosial Demokrasi Kerakyatan dan tujuannya untuk mewujudkan masyarakat demokrasi, multi partai kerakyatan. Adapaun pokok-pokok perjuangan partai ini adalah memimpikan dan terlibat aktif dalam perjuangan kaum buruh, tani, dan rakyat kecil.
Pada tanggal 27 Juli 1996, terjadi
kerusuhan di kantor Partai Demokrasi Indonesia, terjadinya kerusuhan ini
mengenai kelompok Soerjadi terhadap kelompok Megawati. dan rezim Soeharto
menganggap bahwa kejadian itu di dalangi oleh PRD. Yang menarik disini adalah
mengenai starategi yang dilancarkan oleh tangan-tangan Soeharto yakni
menggunakan koran Harian Angkatan Bersenjata milik Tentara Indonesia.
Dalam surat kabar tersebut memuat perihal sejarah PRD, aksi PRD di Surabayadan
kota-kota lainnya, dan mencap PRD sebagai reinkarnasi dari Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Sebenarnya pendirian partai ini
bertentangan aturan yang menyatakan bahwa hanya ada 3 partai poltik yang resmi
di negara ini yakni; Partai Golakar, Partai Dekomrasi Indonesia, dan Partai
Persatuan Pembanguan
Mendengar kata “PKI” pada saat
itu sangat memancing pikiran pada gerbang kematian, karena memberikan stempel
PKI pada lawan politik sama halnya dengan menjatuhkan vonis kematian pada
politik itu sendiri.
Yang tak kalah menarik juga isi
diskusi mereka adalah ucapan dari Budiman pada munir setelah munir memberi
semangat pada Budiman dan kawan-kawan yakni; “Kami sudah tidak mungkin
berbalik arah, cak. Kami tidak mau jadi lelucon sejarah” dari ucapan
Budiman tersebut sudah mengambarkan bahwa; jika berani melangkah maka pantang
berbalik arah, sekali niat perlawanan dikibarkan pantang menurunkan hingga
menang.
Karena coretan in tidak hanya
fokus pada lembaran awal buku maka penulis akan melanjutkan ingatanya apa yang
ada dalam buku ini, Budiman bukan pemuda yang karanjingan revulusi tanpa
mengetahui ilmu revolusi. Menurut penulis sendiri, Budiman bisa mengimbangi
antara lapangan dan teori, teori itu di dapatkan dengan cara membaca, karena
tradisi membaca buku merupakan tradisi Budiman mulai dari kecil, ia sering
membaca buku-buku milik ayahnya sendiri, dari sini kita ketahui bahwa
lingkungan keluarga sangat berperan aktif dalam perjalanan hidup seorang anak. Buku
yang biasanya dibaca antara lain mengenai perjalanan Bung Karno, Jawaharlal
Nehru, Mao Tse-tung, dan Jhon F. Kenedy. Ia tidak hanya membaca perihal politik
saja, tapi juga tentang sastra, filsafat dan sejarah.
Maka tak heran ketika samapai
pada usia mudanya, ia terjun pada dunia pergerakan melawan rezim yang berkuasa,
salah satunya karena di dorong oleh buku-buku bacaannya, maksudnya tidak hanya
teman dan lingkungan saja yang bisa merubah pola kehidupan seseorng, buku pun
sangat menentukan, jika anda ingin mengetahui pikiran seseorang, salah satunya
anda harus tahu buku apa yang ia baca.
Sebenarnya buku ini tidak hanya
perihal revolusi tapi juga tentang pentingnya membaca dan merawatnya, membaca
bukan hanya tentang lembaran-lembaran buku tapi juga tentang keadaan disekitar
kita, baik dalam organisasi bahkan jika jeli membaca gerak-gerik lawan. Pada dasarnya jika kita merawat buku, kita
sedang merawat peradaban. Pun sebaliknya, kita sedang menelantarkan peradaban
saat kita menelantarkannya.
Buku meerupakan penemuan terbesar
dalam sejarah peradaban manusia, sebuah penemuan yang akan menghasilkan
penemuan-penemuan selanjutnya. Maksud penulis adalah saat kita membaca buku
jangan hanya bertujuan untuk menambah pengetahuan baru, tapi juga harus
melahirkan manusia-manusia baru dengan pikiran-pikiran barunya.
Buku ini sangat rekomendet pada
kalangan-kalangan muda terkhusus bagi mereka yang ingin menyelami dunia
percaturan politik. Budiman juga berpesan bahwa menjadi politisi adalah menjadi
manusia yang lengkap, tidak hanya mengerti ilmu politik tapi juga harus
menguasai ilmu filsafat, sains, teater, bahkan musik. Karaena “Menjadi politisi
adalah puncak kematangan intlektualitas dan spiritualitas manusia”, pesannya.
Selanjutnya tentang lagu “Darah
Juang”, sudah tidak asing lagi bagi kalangan mahasiswa, apa lagi bagi
kaum-kaum pergerakan yang memang menjadi lagu wajib untuk dikumandangkan saat aksi
demonstrasi berlangsung, mendengar lagu itu akan meningkatkan kobaran semangat
yang menyala-nyala. Lagu ini diciptakan oleh mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM),
yakni Jhonsony Tobing (mahasiswa filsafat yang sering menjadi komandan lapangan
dalam setiap demonstrasi), Dadang Juliantara (mahasiswa Geofisika yang banyak
menyusun konsep pergerakan mahasiswa), dan Budiman Sudjadmiko.
Di negeri permai
ini
Berjuta rakyat
bersimbah luka
Anak kurus tak
sekolah
Pemuda desa tak
kerja
Mereka dirampas
haknya
Tergusur dan lapar
Bunda, Relakan
Darah Juanga kami
Membebaskan rakyat
Mereka dirampas
hak-nya
Tergusur dan lapar
Bunda, relakan
Darah Juang Kami
Padamu kami
berjanji
Bermula saat senja mulai temaram,
John memainkan nada dan meminta teman-teman yang berkumpul disekretariat itu
untuk membuatkan lirik, dan saat itulah Dadang mempunyai inisiatif untuk
menuliskan idenya di papan tulis, dia tulis syair, kemudian menghapusnya, dan
menuliskannya lagi sampai kemuadian pada suatu jeda, budiman mengusulkan
menambahi diksi “Bunda” pada saat itulah dia sangat merindukan sosok
ibundanya yang sudah lama tak jumpa.
Yang memberi judul “Darah
Juang” pada lagu diatas adalah Jhonsony Tobing. Lagu itulah yang senantiasa dinyanyikan saat
teman-teman mahasiwa turun jalan, dan lagu itulah yang menjadi saksi tumbangnya
rezim otoriter dan dalam perjuangan rakyat lainnya.
“Bahwa perjuangan itu harus harus dinyatakan dengan indah, dalam lirik dan nada”.
Tebal : 473 halaman
ISBN : 9789792299434
Penulis: M. Abrori Riki Wahyudi
Yogyakarta, 22 Oktober 2022
0 Response to "Resensi Buku Anak-Anak Revolusi Jilid 1 Karya Budiman Sudjatmiko"
Post a Comment