Dua Hari Di Sunan Pandanaran Dihantar NU
Wednesday, March 11, 2020
Add Comment
![]() |
Foto CNN Media |
Oleh Zain Ali PM*
Ashrambangsanews.com-Cerpen Bendera
PWNU DIY berukuran tidak begitu besar dan bapak-bapak Banser sudah lanjut usia
menyambut kedatangan saya pagi itu. Suasana kental ke-NU-an seketika
kurasakan, masyarakat sarungan di lingkungan
Pondok Pesantren Sunan Pandanaran sangat mudah kita temukan. Saya jadi teringat
kampung halaman di Madura.
Di
depan gedung lantai dua saya memarkir motor entah gedung apa, di samping kanan
terlihat adik-adik santri tengah asyik main bola. Main bola ala santri ya pakek
sarung dan jelas tanpa menggunakan sepatu, pemandangan ini membawa saya pada
kenangan saat nyantri di Pondok Pesantren Darul Falah Amtsilati Bangsri Jepara
sepuluh tahun silam.
Suasana
pesantren yang syahdu menentramkan jiwa dan kalbu begitu membuat saya
emosional, serasa ingin kembali nyantri di pondok pesantren lagi. Oh Tuhan betapa beruntung mereka yang diberi
kesempatan olehmu untuk menjadi Santri. “Semua santri harus bersyukur, tak
semua anak-anak muda seusia kalian mondok di pesantren, kalau bukan orang
pilihan,” begitu motivasi Kiai sewaktu saya di Pesantren.
Di
Pondok Pesantren Sunan Pandaran tepatnya di halaman Sekolah Tinggi Agama Islam
Sunan Pandanaran saya dua hari ini akan bermukim, untuk mengikuti PKPNU
(Pelatihan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama) Yang diselenggarakan oleh Pengurus
Wilayah Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta angkatan ke enam segmen
khusus mahasiswa.
Sunan
Pandanaran nama ini tidaklah asing ditelinga saya, sebab Ustad Abdul Mannan
Hasan guru saya di Pondok Pesantren Miftahul Karangdurin Sampang Madura pernah
bercerita perihal pondok ini “Pondok yang NU-nya kental selain pondoknya Mbah
Ali Maksum Krapyak,” begitu kata Ustad Mannan suatu sore di belakang Masjid
As-Solihin saat saya masih nyantri di Madura, tepatnya enam bulan sebelum
saya bertolak ke Jogja untuk menimba Ilmu di UIN Sunan Kalijaga.
Namanya
mahasiswa yang sok sibuk, keinginan untuk sekedar bermain ke Pandanaran tak lebih
hanya wacana belaka semata, sibuk ngopi dan rapat gak jelas sana sani, tak lupa
sembari mencari potongan tulang rusuk yang sampai detik ini tak kunjung kutemui.
Bukan
karena hanya itu, di PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) angkatan saya
juga setiap malam jumaat punya agenda ziaroh ke makam-makam para Ulama dan Kiai
di Jogja, hanya saja pada saat jadwal ziarah ke makam para pendiri Sunan
Pandanaran saya tidak ikut, saya memang nakal, duh.
NU
bagi saya bukan hanya soal organisasi bukan pula soal Mbah Hasyim dan para
pendiri NU lainnya, melainkan NU bagi saya yang memang asli Putra Madura
“adalah agama kebanggaan orang Madura” begitulah guyon yang kerap dilontarkan
para petinggi NU disetiap acara formal atau non formal. Bahwa kalau orang Madura ditanya
agamamu apa? Jawabnya ya agama saya NU.
Tak
hanya itu, setelah saya mulai tumbuh besar dewasa dan suka membaca sedikit
mampu berpikir dan bisa memetakan mana yang benar dan salah minimal menurut
saya, NU merupakan organisasi yang sangat bersahaja dengan segala bentuk
kontribusi pemikiran dan andilnya dalam membangun dan mempertahankan kesatuan
Negara Indonesia. Dan saya menemukan landasan pemikiran itu di NU. Korelasi
agama berbangsa dan bernegara.
******
Saya
berkesimpulan bahwa NU lah yang mampu mengantarkan saya ke Pondok Pesantren Sunan
Pandanaran melalui PKPNU. Tuhan selalu punya caranya sendiri dalam menunaikan
kehendak hambanya, tanpa terkira dan tanpa wacana. Karena saya mengikuti PKPNU
ini tidak niat sedikit pun, hanya saja ketika berdiskusi dengan
sahabat-sahabat, dengan mengikut PKPNU setidaknya kita jadi lebih paham NU
secara menyeluruh, meski tidak sempurna.
Ternyata
setelah mengikuti progam PKPNU bukan hanya soal pemahaman ke-NU-an yang saya
dapati, yang paling memberuntungkan bagi saya ialah “menyambung sanad” keilmuan dengan
para pendiri NU serta tokoh-tokoh Ulama NU lainnya.
Pada
sebuah sore yang rindang, materi pertama telah berlalu. Pembukaan PKPNU begitu
memberi saya kesadaran pentingnya berorganisasi. Sambutan pertama yang
dibawakan oleh pihak panitia, satu hal yang saya garis bawahi dari sambutannya.
Mbah Wahab mengatakan “PMII adalah otak NU”
Lebih
jelasnya pembahasan mengenai keluarnya PMII dari banom NU pada era pemerintahan
Soeharto tidak lepas dari pada intervensi dan kepentingan orde baru pada saat
itu. Yang menginginkan pemuda-pemuda NU keluar dari barisan NU itu sendiri,
jelas agar supaya otak atau barisan starategis dan kader-kader mudanya NU menjadi kocar kacir. Dan bukan hanya PMII saja melainkan IPNU (ikatan Pelajar Nahdlatul Ulma) juga berhasil keluar dari NU,
sehingga menyebkan pelajar NU beberapa kali ganti nama.
Pada
muktamar NU ke 33 di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, PMII
tetapkan dirinya bagian dari badan otonom NU memalui siding komisi organisasi
diacara muktamar tersebut “Meski sebenarnya sampai saat PMII masih
setengah-setengah” guyon panitia diacara
pembukaan PKPNU dalam sambutannya.
Pondok
Pesantren Sunan Pandanaran telah berhasil membuat saya bernostalgia, pondok ini
bersih jauh dari kesan pondok-pondok yang dikenal kumuh.
Jarak
yang tak terlalu jauh dengan lereng gunung merapi, membuat suasana sejuk selalu menyelimuti
pondok ini. Airnya pun segar, suasana berkabut pada pagi hari dibarengi dengan bunyi-bunyi
reriuhan para santri dengan segala aktivitasnya membuat jiwa saya semakin
emosional dalam mengenang masa-masa di pesantren dulu.
Aliran
sungai yang melahirkan bunyi ketenangan serta lantunan bacaan al quran menyatu
menjadi satu pada malam hari di pondok ini. Oh Tuhan terimakasih atas
kesempatanmu telah memberiku waktu bernafas selama tujuh tahun di pesantren.
Pada
malam itu saya hendak ke kamar mandi sembari ingin mengambil sepatu di dalam
jok motor untuk keperluan olah raga besok pagi yang merupakan susunan agenda
acara PKPNU. Kebetulan saja saya berpapasan dengan santriwati yang mungkin baru
saja sholat magrib dari Masjid menuju kamar biliknya, sebab mereka masih dalam
balutan mukena dan memeluk mushaf al quran.
Sedikit
saya salah tingkah pada malam itu, bagaimana tidak dilihat puluhan santriwati
sedangkan saya tengah berdiri seorang diri pura-pura kuat menahan malu.
Sebagaimana adab seorang santri mereka semua kuperhatikan merundukkan
pandangannya, saya paham tertundukknya kepala mereka adalah keterpaksaan sebab ada
ustdzah yang siap memarahinya jika mungkin di antara santriwati ini melihat
kegantengan saya yang diam-diam salah tingkah ini hahaha.
******
Mengikuti
pelatihan pendidikan kader penggerak NU ini, mengajari saya banyak hal, tentang
pentingnya berorganisasi untuk kemudian pengalamannya akan dikhidmahkan pada
masyarakat kelak, serta pentingnya menyambung sanad keilmuan agar tidak
terputus dan kelak bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Tak
cukup hanya itu, saya jadi paham pentingnya doktrin ideologi tentunya dalam hal
ini ideologi ala NU. Oleh salah satu pemateri dalam acara ini dijelaskan, seseorang
tanpa doktrin ibarat layang-layang tanpa benang. Jadi, doktrin merupakan
kebutuhan pun juga doktrin adalah pembatas.
Di
pertemuan kedua, saya dipaksa menjadi ketua kelas setelah ketua kelas yang
terpilih enggan untuk memimpin yel-yel di hadapan 103 pesarta PKPNU. Awal mula
saya anggap ini hanya perintah panitia untuk mengomando yel-yel semata,
nyatanya saya memang menjadi ketua kelas selama acara tersbeut.
Jadi
saya sering tampil di depan, setiap ada apa-apa saya selalu menjadi
perwakilannya termasuk di akhir acara PKPNU ini. Saya diberi kesempatan untuk
memberikan testimoni terkait pelaksanaan PKPNU yang diselenggarakan oleh PWNU
DIY ini.
Dengan sisa suara yang sudah hampir habis dikarenakan setiap
hari teriak-teriak mengomando yel-yel saya memberi terstimoni yang disaksikan
oleh para peserta dan beberapa panitia disebuah aula Sekolah Tinggi Agama Islam
Sunan Pandanaran.
“Ikut
PKPNU saya jadi tahu, bahwa ternyata yang dilakukan oleh masyarakat Madura
kebaanyakan kesemuanya merupakan amaliyahnya NU. Jelas semua keluarga saya NU,
hanya saja secara teori saya tidak paham apa itu NU? Ada apa saja di NU? Dan
lain-lain sebagainya, sekilas saya memang paham tapi tidak begitu mendalaminya.
Madura
yang masih sangat asri ke-NU-anya meskipun pada dasarnya masyarakat kebanyakan
“awam” tentang ke-NU-an, mereka melaksanakan amaliah NU hanyalah bermodal taqlid dan loyalitas pada Kiai dan Lora
(Sebutan putra Kiai di Madura) setempat.
Namun demikian Madura tak bisa
dilepaskan dari pada histori sejarah berdirinya organisasi Islam terbesar di
Inonesia ini. Setelah Mbah Cholil Bangkalan memberi restu pada Mbah Hasyim
lewat isyrat pemberian tasbih dan tongkat yang dihantar oleh Yai As’ad Situbondo.
Selain itu, PKPNU mengajari saya disiplin.”
Saya
berhenti sejenak tak melanjutkan testimoni yang tengah saya paparkan, sedangkan
Mas Panitia yang berdiri di belakangku mengamati betul apa yang saya sampaikan.
Saya berpikir akan lebih berkesan jika saya tutup testimoni ini dengan cerita
lucu, maka saya memohon izin untuk minta waktu dua menit sebelum saya tutup
untuk bercerita. “Iya Mas Zen, monggo” lirih Mas panitia sembari tangan
kanangan mempersilahkan.
“Ada
orang Madura kuliah di Jogja” saya memulai cerita wajah teman-teman saya amati
ingin tertawa lebih dulu “Jangan tertawa dulu ya sebelum selesai saya
ceritanya, biar lebih ngenna” kataku
menjelaskan. Saya lanjut bercerita.
Setelah
anak Madura diterima di salah satu kampus, ia kemudian menelfon Ibunya di
kampung, dengan suara riang gembiara ia lapor pada sang Ibu.
“Bu
saya diterima di Universitas Muhammadiyah Bu.”
“Wah…
kampus apa itu nak, jangan kuliah di sana itu kampus “sesat””
Karena
sang Ibu melarang, lalu Anak Madura ini pindah kampus. Diterimalah ia di
disalah satu kampus lain. Tak lama setelah mendapat pengumuman kelulusan ia
menelfon kembali Ibunya.
“Bu,
Alhamdulillah saya diterima sekarang”
“Diterima
di kampus mana nak, awas jangan Muhammadiyah lagi ya”
“Enggak
buk, bukan.”
“Apa
nama kampusnya, Nak?”
“UAD”
“Apa
UAD itu, Nak”
“Universitas
(Kiai Haji) Ahmad Dahlan”
“Nah,
kalau itu baru kampus keren nak, namanya saja nama Ulama besar”
Pecah
bukan main, seketika suara gemuruh tercipta di ruangan mini komplek Sekolah
Tinggi Islam Sunan Pandanaran. Setelah testimoni dari pihak laki-laki yang
diwakili saya usai, kemudian selanjutnya tetimoni akan disampaikan dari pihak
perempuan, Uyun namaanya mahasiswi UGM, dia juga anak PMII, katanya.
******
Malam baiat
Setelah
barisan semua lurus, seketika lampu sekitar komplek kampus Pandanaran mati. Suasana
semakin terasa kesakralannya. Satu persatu tamu undangan berdatangan, senior
dan ulama-ulama besar hadir pada malam pembaiatan tersebut.
Bagi
saya ini merupakan suasana pembaaiatan yang memberi kesan paling mistis,
beberapa oragnisasi yang saya ikuti pada malam pembaiatannya tidak semistis
ini, ini memang sangat berbeda. Sebab dihadiri oleh kiai dan senior pengurus
wilayah NU Jogja.
Lantunan
solawat badar menemari prosesi hormat sekaligus mencium bendera Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan bendera kebesaran NU. Diawali dengan langkah serta pernghormatan
pertama oleh saya yang kemudian diikuti oleh peserta yang lain, jiwa saya
bergetar dengan sangat. Sebelum benar-benar mencium bendera merah putih,
terlebih dahulu kami harus memberi hormat, begitupula kepada bendera kebesaran
NU.
Waktu
ketika saya mencium bendera NU, saya betul-betul penuh takdzim dan pasrah diri,
seakan seluruh jiwa raga ini rela kuwaqofkan untuk kemajuan aswaja dan
kebesaran NU ke depan. Saya berusaha tatkala mencium bendera NU seakan-akan mbah
Hasyim dan Gus Dur menyaksikan prosesi ini. Oh Tuhan, bimbinglah saya dalam
berkhidmat dan berilah keikhlasan dalam hati ini.
Dan
teks baiat yang paling menakutkan dari teks-teks baiat organisasi lain yang
saya ikuti, baru teks baiat PKPNU yang begitu paling mengerikan, bagaimana
tidak, bayangkan saja jika saya lalai dan main-bermain atas sumpah yang telah
saya ucapkan ini “Allah akan menghukum saya” mengerikan sekalai bukan?
Blandongan Kopi
Selasa 10 Maret 2020
(Sampai hidup lagi tetap NU)
*Penulis adalah Kader NU muda.
0 Response to "Dua Hari Di Sunan Pandanaran Dihantar NU"
Post a Comment