Misteri di Balik Kemilau Senja
Saturday, March 3, 2018
Add Comment
Oleh: Rz. warits Abd*
![]() |
Sumber gambar: http://www.kalikening.com |
“Karena senja lebih paham dalam perihal
berpamitan.”
Ketika seorang penyair dilanda musibah kesedihan, adakah
kata yang lebih nyesak dari senja dan air mata? Seperti sepenggal kalimat yang disampaikan Seno Gumira Ajidrma dalam novelnya, “Aku sudah berniat
memberikan senja itu untukmu, Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku.”
Begitulah, Seno mempermainkan senja dengan logikanya. Memang terkesan
tidak masuk akal, tapi semua itu merupakan sebuah gambaran bahwa senja lebih
berharga dari cincin lamaran.
Sejak berawalnya kehidupan, senja selalu diisyaratkan dengan
sebuah usia bahwa hari sudah tua, dan matahari akan segera terbenam. Dimana
cakrawala menguning keemasan
bersiluet jingga di antara mega-mega. Kala itu merupakan fase perpindahan
antara terang yang akan digantikan oleh gelapnya malam. Dan senja pun merupakan
sebuah tanda bahwa terik matahari harus berganti dengan remang cahaya rembulan.
Senja bukan
hanya perihal tentang jarak antara waktu siang dan malam. Bagi seorang penyair,
senja sangatlah mahir dalam segi menantang imajinasi. Ia sangatlah beruntung, begitu banyak sekali penulis pernah mencantumkannya ditengah keindahan bait-baitnya. Sehingga
berhasil menjadikan senja sebagai hakim yang paling jujur sepanjang peradaban manusia
dalam perihal menghakimi kenangan.
Ada banyak sekali kita akan temukan senja bukan hanya
dipergantian waktu atau pada persalinan masa. Tapi, di pasar-pasar dan
toko-toko, senja ternyata lebih indah. Seperti karya Seno Gumira Ajidarma,
dengan antologi cerpennya yang bertajuk: Seopotong Senja Untuk Pacarku;
Negeri Senja; Serta
Senja dan Cinta yang Berdarah. Dan juga novel Boy Candra yang
berjudul: Senja, Hujan, dan Cerita yang Telah Usa; dan Pada Senja
yang Membawamu Pergi; dan masih banyak lagi penulis lainnya.
Lewat mata seorang pengembara kata-kata, senja tidak pernah
salah kapan ia akan bertandang dan kapan ia harus pulang; menepati harapan
tanpa mengumbar janji kepalsuan. Beda dengan kisah tuan rumah yang bimbang
harus menyuguhan kopi atau hati pada tamunya yang datang tanpa permisi.
“Orang-orang berhamburan mencari buah diluar takdir
Semua itu, Eva, malah membuat darahku menggelegak
Menjelma sekuntum bunga api yang bersenyawa dengan senja.”
(Kuswadi Syafi’i)
“Orang-orang berhamburan mencari buah diluar takdir
Semua itu, Eva, malah membuat darahku menggelegak
Menjelma sekuntum bunga api yang bersenyawa dengan senja.”
(Kuswadi Syafi’i)
Menghirup keharuman aroma bait-bait puisi itu, saya seperti
dihempaskankan ke atas cakrawala ketakterhinggaan dimana kecemasan tentang
sebuah pencarian kebeneran telah menempatkan manusia pada titik dimana ia ada
pada kesunyian terindahnya. Karena itu, Jalaluddin Rumi dengan jantan menantang:
Wahai duka, jika kau punya nyali datanglah ke mari!
Karya sastra bukan hanya sekadar cerita khayal atau angan
dari pengarang saja, melainkan wujud dari kreativitas penyair dalam menggali
dan mengolah gagasan yang ada dalam pikirannya. Menyampaikan kenyataan dengan
entitas yang berbeda merupakan sebuah kesempurnaan dalam menyampaikan
imajinasi, –meminjam bahasanya Seno- “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus
bicara”
Selain tentang keindahan kata-kata, wujud lain dari karya
sastra adalah ungkapan yang bernilai estetik, baik dari aspek kebahasaan maupun
aspek maknanya. (Mukarovsky, E.E. Cummings, dan Sjklovski)
Tidak ada gejolak yang
lebih dari keremangan senja, kecuali sebuah paradoks indah yang
menggoda: dimana langit yang tenang temaram diterangi semburat warna api
matahari yang diam-diam melarikan terang pada petang. Tapi, lebih dari pada itu, suasana hati dan
ketenangan jiwa telah menggerakkan raga seorang pujangga pada titik dimana
momen faktis berhasil mengabadikan diri menjadi sebuah diksi yang mengabadi.
*Penulis adalah kader PMII Rayon Ashram Bangsa
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Angkatan 2015 (Korp Komando Barisan Revolusi)
0 Response to "Misteri di Balik Kemilau Senja"
Post a Comment