Ramuan Kesakralan Menggapai Keabadian
Thursday, February 1, 2018
Add Comment
Oleh: Hasan Pasean*
![]() |
Sumber gambar: http://www.yennisuhartanto.com |
Kali
ini aku akan membicarakan, atau lebih layaknya disebut sumpah-serapah yang pada
akhirnya akan menggenang dalam tong sampah, mengenai apa yang disebut dengan
perjalanan menuju kebenaran, yang sebetulnya bagiku merupakan proses menuju
kesakralan. Bagaimana tidak, masing-masing telah menyakralkan jalan yang mereka
ambil untuk mendapat kesakralan itu sendiri. Sedang kesakralan hanya ada dalam
keyakinan.
Suatu
ketika, seorang teman berkata padaku bahwa kebenaran itu mutlak, tak dapat
dirubah, tak dapat dibubarkan. Kukatakan padanya, “kebenaran tidaklah mutlak,
Kawan. Sungguh, tidak ada yang benar-benar mutlak. Kita tahu apa yang terjadi
kemarin, dan sekarang. Apa kamu tahu apa yang bakal terjadi besok.” Hal itu
benar adanya. Hanya saja semua itu bisa disiasati. Apa yang terjadi hari ini
dan yang kita nyatakan hari ini, dapat kita abadikan dalam waktu yang begitu
lama, bahkan dalam keabadian yang dapat melampaui waktu, dan waktu pun tidak
dapat menaksir keabadian tersebut.
Jadi,
sekarang aku berbicara mengenai kebenaran. Oh, tidak, tidak! Bukan niatku untuk
membicarakannya, aku hanya bercerita tentang apa yang telah terjadi padaku dan
teman, juga yang kami bicarakan saat itu. Karena memang di sini aku hanya akan
sedikit bercerita, hanya bercerita, tidak lebih. Tapi, sejak awal aku telah
berjanji akan berbicara soal kebenaran, kesakralan, dan keabadian?! Ah, abaikan
saja semua itu. Apa peduliku dengan janji-janji. Dunia ini sedang berpura-pura
pada kita, kita tidak perlu jujur lagi padanya. Apa guna menepati janji, kita
semua akan mati.
Jika
suatu nanti datang seseorang yang sangat berpegang pada kehormatan dan
bertanya, “Lantas, bagaimana dengan sumpah?” Akan kujawab dengan jujur,
sejujur-jujurnya. Dan kali ini aku akan bersungguh-sungguh atas kujujuran. “Dengar,
Bung. Biarkan si buta akan pengetahuan ini memberimu suatu pengertian yang
tidak akan kamu percaya! Apa yang kau sebut dengan ‘Kehormatan’ tadi sudah
terkubur dalam-dalam, bahkan oleh waktu. Jadi, siapa yang dapat menggali dan
mengeruk waktu, apa kau bisa?” Sudah kupikirkan semuanya, mempertimbangkan
resiko dari apa yang kunyatakan. Di setiap tindakan, resiko mengikutinya. Aku
tahu apa yang kulakukan. Bukankah itu kebijaksanaan?
Kini
kurasa, seseorang mengira bahwa aku adalah pemuda yang ingin dianggap
bijaksana. Tidak, aku tidak ingin dianggap demikian. Aku hanya pernah
mendengar, orang bijak tahu apa yang ia lakukan. Namun, semua itu tidaklah
penting kubahas. Di sini, aku hanya ingin menceritakan pengalamanku yang mungkin
telah usang.
Baiklah,
aku telah melalui beberapa fase kehidupan dan persalinan zaman. Jika berbicara
persalinan, baru-baru ini muncul beberapa istilah yang cukup menggelikan; Zaman Old dan Zaman Now. Entah dari mana
datangnya kedua istilah tersebut hingga
begitu fanomenal di telinga masyarakat. Aku mengambil kesimpulan bahwa, istilah
itu tak lain hanyalah sebagai bentuk cercaan dan makian bagi persalinan zaman
itu sendiri. Siapapun penciptanya, ia telah berupaya untuk mencerca dan memaki
kehidupan yang terjadi saat ini dengan bahasa yang cukup etis. Kemudian muncul
lagi ‘generasi micin dan generasi milenial’.
Akan
kucoba untuk membacanya. Namun yang jelas, pembacaanku akan jauh dari fakta,
akan jauh dari apa yang terlihat, akan meleset dari kebenarannya. Karena aku
seorang pelajar, kurasa, maka aku akan membacanya melalui mata seorang pelajar,
atau katakan saja ‘Mahasiswa’, yang bagi kami tidak ada kata diam, oleh kami
harus mengalami perubahan. Lagi-lagi aku pernah mendengar; dulu, mereka tampak
melakukan perubahan melalui suatu gerakan atas pemerintah yang kebijakannya
dianggap tidak cocok bagi rakyat. Mereka meluncurkan suatu gerakan dengan
mengandalkan strategi demonstrasi dan perlawanan melalui parlemen jalanan.
Mereka berekspresi dengan melakukan aksi menutup jalan sembari menyampaikan
tuntutan-tuntutan melalui megaphone. Ada
yang beranggapan bahwa jalan aktivis paling heroik adalah jalan para
demonstran, dan juga ada yang berasumsi bahwa untuk mejadi seorang pembela hak rakyat
harus berpanas-panasan di jalan dengan membawa spanduk.
Mari
kita bangun sejenak dari mimpi masa lalu. Kita kembali ke masa kini, masa yang
dikenal dengan “Jaman Now”. Langsung saja ke pembacaan. Pada masa yang
bergelimang elektro dan bermandikan internet ini, strategi-strategi yang digunakan
oleh orang-orang terdahulu kita, di sisi lain justru menjadi lelucon.
Pergerakan aktivis Jaman Now tidak hanya mengandalkan aksi demonstrasi dan
parlemen jalanan, melainkan melalui media sosial dan surat kabar, baik secara
umum maupun personal, cetak maupun online.
Mereka dapat menggunakan media sosial sebagai senjata untuk menggugah
kesadaran. Senjata mereka bukan lagi spanduk dan megaphone, melainkan dengan menulis. Senjata ini jauh lebih hebat
dari senjata militer mana pun. Jika senjata militer hanya bisa menembus satu
kepala, satu tulisan mampu menembus jutaan pikiran, dan itu lebih berbahaya
dari kematian.
Itu
saja ceritaku kali ini, cerita yang hianat, tidak menepati janji, juga tidak
sesuai dengan keinginan. Karena mungkin, jaman telah berubah, berikut dengan
peradaban, apa-apa sering tidak sesuai dengan keinginan.
*Penulis adalah kader PMII Rayon Ashram Bangsa
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Angkatan 2012 (Korp Kretek)
Serta menjadi pimpinan redaksi IDEATRA
0 Response to "Ramuan Kesakralan Menggapai Keabadian"
Post a Comment