Menyelamatkan Akal Sehat; Negara dan Agama
Tuesday, February 6, 2018
Add Comment
Oleh: Wahyu
el-k (Assyaafi)*
![]() |
Gambar oleh: Crew Ashrambangsanews |
Indonesia adalah
negara persatuan dan kesatuan yang memiliki tradisi panjang tentang pluralisme
dan kerukunan umat beragama (transagama),
dan secara luas dihargai dunia atas keberhasilannya menjaga tradisi moderat
tersebut. Namun demikian, meningkatnya gerakan ekstrimisme dan intoleran atas
nama agama dalam tahun-tahun terakhir, tidak hanya mengancam eksistensi kaum
minoritas melainkan terhadap nilai-nilai ke-Bhineka Tunggal Ika-an negara yang
mengarah pada paralisis Negara dan Agama.
Isu
Negara-Agama merupakan satu-kesatuan telah bergulir sejak nenek moyang
megkonsepsi Nusantara, bahkan lebih dari itu sejak zaman romawi kuno isu
Negara-Agama telah dihadirkan. Perdebatan
Negara-Agama bagi Indonesia telah final, seiring dengan disepakatinya
nilai-nilai luhur kebangsaan menjadi sebuah ideologi Negara, yaitu Pancasila. Dimana para kiai, kaum nasionalis, dan beberapa delegasi tokoh keagamaan lain berembuk
tentang grundnorm Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Negara-Agama bukan merupakan satu kesatuan dan juga bukan
sekularisme, melainkan dikonsepsi sebagai nilai simbiolis-mutualisme.
Indonesia
punya pengalaman kurang sehat tentang implementasi nilai agama dalam negara,
aksi massa yang menuntut Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok,
agar dijebloskan ke dalam penjara atas dugaan penistaan agama telah berada pada
titik keliru dalam memahami Negara-Agama. Ratusan ribu umat Islam rela meninggalkan keluarga,
kampung halaman, pondok pesantren, pekerjaannya demi menghardik para pemimpin
dengan kalimat-kalimat orasi yang tidak pantas dan juga demi seolah-olah aksi massa terlihat ramai. Massa aksi tidak
terima karena agama Islam telah diperlakukan secara tidak hormat oleh sang Gubernur atas penyampaiannya tentang Surat Al-Maidah ayat 51, dalam forum kampanye di Pulau Seribu. Jika kita
komperhensif (kaffah) menilai aksi
massa 4 November lalu sampai pada rencana aksi pembelaan Islam berjilid-jilid
(bahkan saat ini mereka ada forum alumni), terdapat kekeliruan dalam
menyimpulan grandissue aksi pembelaan
tersebut, terlebih hulu timbulnya
aksi massa tersebut adalah atas viral video yang telah diedit dengan menghilangkan
kata “pakai” oleh salah satu pengguna akun Facebook.
Pemaknaan
tersebut sangat sederhana, namun berimpliksi fatal jika kita keliru memahami
dinamika dugaan penistaan agama oleh Ahok. Apa mungkin para kiai kampung dan
ustadz-ustadz
yang beridealisme tinggi terhadap nilai pluralisme agama Islam, akan ikut
berdemonstrasi jika video tersebut diupload secara utuh dan tidak disusupi
viral provokatif? Tentu mereka akan berpikir kembali, terlebih realitas social-culture Indonesia yang dibangun
atas suku, agama, ras, dan budaya yang heterogen. Sangat mungkin aksi massa 4
November lalu hanya diikuti oleh para habiber yang terlalu menghayati intrinsik
keagamaan dengan berpakaian juba serba putih dan mengumandangkan lafadz takbir
di ruang publik, seolah-olah mereka adalah sosok pembela Islam yang paling
benar dan tidak kenal kompromi atas ajaran yang tidak sejalan dengan pemahaman
mereka. Pemahaman ini, sangat
memprihatinkan.
Agama
dijadikan isu sentral untuk menggerakkan massa yang dipaksa melakukan pembelaan,
terlebih yang dilakukan Ahok dan juga untuk mencapai kepentingan komprador. Mereka telah mengasumsikan agama-negara
sebagai kesatuan, ialah berbuat baik untuk agama juga berbuat baik untuk
negara. Kekeliruan mendikte aktivitas-aktivitas negara dengan nilai-nilai
keagamaan telah menghilangkan akal sehat Negara-Agama; gerakan ekstrimisme bertebaran,
menghargai Hak Asasi Manusia
menjadi lemah, demoktratisasi lumpuh, ke-Bhineka Tunggal Ika-an tereduksi dan
menghardik keliru para kaum keagamaan dengan nilai agama masing-masing.
Dalam
merawat akal sehat Negara-Agama dalam bingkai keIndonesiaan membutuhkan
pangalaman untuk membumikan nilai-nilai toleransi, sebab dalam konteks ini
Almarhum Gusdur memandang sederhana bahwa sikap toleransi itu bukan pemahaman,
melainkan pengalaman. Anarkisme
dan intoleransi yang seringkali ditunjukkan oleh kelompok keagamaan tertentu
menunjukkan kurangnya pengalaman mereka menafsirkan keIndonesiaan dan memaknai
kitab suci secara tekstual. Dalam pemahamannya kelompok ini disebut sebagai
penganut puritanisme-religius, dimana
Khalid Abu Fadl dalam bukunya “Selamatkan Islam dari Muslim Puritan” mengatakan
bahwa ciri berpikir dan cara pandang kaum puritan yang menonjol dalam hal
keyakinan adalah menganut paham absolutisme yang tidak kenal kompromi. Tak
heran jika mereka dalam menyebarluaskan ideologinya kerap melontarkan ajaran
stigmatik seperti sesat dan kafir sebagai bentuk perlawanan dan perjuangan
tegaknya negara Indonesia didasarkan pada hukum Tuhan.
Pancasila, UUD
1945 dan demokrasi adalah keputusan final para pendiri republik ini untuk
mendifinisikan pluralisme-heterogensi dan juga sebagai aturan main berbangsa
dan bernegara. Konsekuensinya adalah setiap warga negara Indonesia harus
meneguhkan nilai-nilai Pancasila, mengikuti aturan main (rule of law) yang ada dalam UUD 1945 dan menjadikan Demokrasi
sebagai sistem pemerintahannya. Merevitalisasi sistem demokrasi ala Indonesia
dengan sistem khilafah seperti di Negara Timur Tengah merupakan pemahaman
keliru, sebab agama dalam penyebarannya ke penjuru dunia tidak terlepas dari
sosial budaya yang melingkupinya. Indonesia adalah titik temu semua agama (Buya Syafi’i Ma’arif-Islam Dalam Bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah), dengan demikian
bernegara ala Indonesia merupakan sikap moral kemanusiaan tertinggi, sebab
disini kita dihadapkan pada pluralisme-hertegensi suku, agama, ras, dan
budaya serta dituntut belajar bersikap
toleransi. Oleh karenanya, tidak sepatutnya bagi kita over-emotion menilai kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok. Ada
hukum negara sebagai aturan main (rule of
law) yang akan menghakimi tindakan Ahok serta tidak perlu lagi hukum agama
dihadirkan ke ruang publik untuk menjustifikasi kealphaan seseorang.
*Penulis adalah
alumni PMII Rayon Ashram
Bangsa
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Angkatan 2010 (Korp Gerakan Mahasiswa Pembaharuan)
Sekarang menjadi pemerhati Hukum dan Konstitusi di ROEANG inisiatif
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Angkatan 2010 (Korp Gerakan Mahasiswa Pembaharuan)
Sekarang menjadi pemerhati Hukum dan Konstitusi di ROEANG inisiatif
0 Response to "Menyelamatkan Akal Sehat; Negara dan Agama"
Post a Comment