Korupsi, Dosa Sosial yang Menghancurkan
Saturday, February 10, 2018
Add Comment
Oleh: Ahmad Fathoni Fauzan*
![]() |
Gambar oleh: Crew Ashrambangsanews |
Hilang satu
tumbuh seribu. Begitulah fenomena korupsi yang terjadi di negeri ini. Dari Orde
Baru hingga reformasi, tidak sedikit bibit koruptor bermunculan. Wacana anti
korupsi dari rezim ke rezim terus didendangkan, namun akhirnya hanya berhenti
pada level konsep dan teori. Semerbak
wangi harapan yang dicita-citakan, menjadi pupus dan layu diterpa gemuruh hasrat
dan nafsu kekuasaan.
Membincang kasus korupsi seolah
tidak ada habisnya. Hampir setiap hari masyarakat disuguhkan berita korupsi
dari kelas kakap hingga kelas teri. Kasus demi kasus hanya berakhir dibalik
jeruji besi. Keluar masuk bui seolah jadi hobi. Belum lagi koruptor-koruptor
yang "dibiarkan" menghirup udara bebas, tidak ditindak dengan tegas.
Kenyataan
inilah yang membuat rakyat seolah kehilangan harapan ihwal pemberantasan korupsi
secara massif dan sistematis. Terungkapnya skandal mega-proyek pengadaan Kartu
Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) belum lama ini jelas semakin menguatkan
keyakinan rakyat bahwa korupsi masih tumbuh subur di negeri ini.
Belakangan diketahui, jumlah dana
yang telah dikorupsi mencapai 2,3 triliun. Dengan jumlah yang cukup fantastis,
kasus ini disebut-sebut sebagai salah satu kasus korupsi terbesar yang pernah
terungkap di Indonesia. Sejumlah nama-nama penting pun satu-persatu terseret dalam
kubangan skandal kasus mega-proyek tersebut.
Pada kasus
korupsi e-KTP, untuk pertama kali dalam karier politiknya, ketua umum Partai
Golkar sekaligus ketua DPR Setya Novanto ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun demikian, drama politik yang
diperankannya membuat siapa saja terbelalak. Betapa tidak, kasus demi kasus korupsi
yang melibatkan namanya lolos dari jeratan hukum.
Sebelumnya, Setya Novanto tercatat
pernah terseret dalam banyak kasus hukum. Mulai dari kasus Cessie Bank Bali
tahun 1999, penyelundupan Beras Vietnam tahun 2003, kasus Limbah Beracun di
Pulau Galang, Kepulauan Riau tahun 2006, kasus PON Riau tahun 2012, kasus etik
terkait Donald Trump tahun 2015, kasus Papa Minta Saham tahun 2015, dan yang terakhir
adalah kasus e-KTP yang meloskan dirinya dari pra-peradilan, sehingga status
tersangka yang disandangnya pun gugur di tengah jalan.
Korupsi di negeri ini merupakan penyakit akut yang sampai saat ini belum ada
penawarnya. Segala bentuk upaya pengawasan sekaligus pemberantasan yang
dilakukan oleh pemerintah, belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Dengan
demikian, salah satu pertanyaan yang patut diajukan adalah, bagaimana masa
depan bangsa ini jika virus bernama korupsi dibiarkan menjalar pada
generasi-generasi berikutnya?
Tentu saja bangsa ini akan semakin
terbelakang. Rakyat yang menjadi tujuan dari terselenggaranya demokrasi akan
hidup dalam kebingungan yang tidak terperikan. Sebab mindset yang dibangun
oleh para koruptor tak lain adalah mencari keuntungan dalam “bisnis politik”
yang menjanjikan.
Itulah kenyataan yang pasti akan
kita hadapi. Karena itu, para elite yang sudah terasuki cara berpikir yang
korup, dengan pola pikir ala political merchandiser (politik dagang sapi),
pasti dalam waktu yang tidak lama akan menyebabkan bangsa dan negara ini
bangkrut alias tidak berdaya menghadapi persaingan di pentas global.
Membunuh Hati
Nurani
Kwiek Kian Gie dalam Pikiran
yang Terkorupsi (2006) menyebut korupsi sebagai penyakit membahayakan yang
dapat membunuh hati nurani dan nilai-nilai kemanusiaan. Sebuah virus mematikan
yang terwariskan dari generasi ke generasi. Dan setidaknya, kita masih bisa
merasakan perihnya hingga hari ini. Penyakit yang kian hari kian meradang dan
sedemikian akut.
Korupsi, dalam berbagai bentuknya,
sangat berpotensi merusak moralitas bangsa. Sebab korupsi merupakan dosa sosial
yang menghancurkan. Begitu massifnya praktik korupsi di negeri ini, maka wajib
hukumnya bagi kita berjihad melawan korupsi. Inilah jihad akbar yang harus kita
songsong. Sebab korupsi tak ubahnya benalu yang akan menjalar, mengakar dan
membakar hati nurani siapa saja. Tidak pandang bulu.
Dalam
pemaknaannya yang hakiki, jihad merupakan panggilan suci untuk berjuang melawan
praktik kezaliman, tentu dengan sungguh-sungguh di jalan Allah untuk
melaksanakan misi utama menegakkan keadilan dalam bingkai agama dan negara yang
baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Karena itu, jihad menempati posisi
terpenting dan merupakan puncak tertinggi dalam ajaran Islam.
Ada banyak cara yang ditempuh untuk
berjihad, salah satunya ialah berjihad memerangi korupsi. Selain bertujuan
memerangi kelaliman dan kezaliman, jihad dalam konteks ini juga bertujuan dalam
rangka menjaga tegaknya agama, bangsa, dan
negara.
Terapi Moral
dan Spritual
Karena jihad korupsi adalah
panggilan suci, tentu ormas-ormas yang memiliki kepedulian masalah moralitas
harus berada di garda paling terdepan. NU dan hammadiyah, misalnya, harus terus-menerus melakukan
penggemblengan terhadap umat dan bangsa secara keseluruhan dalam upaya
membentengi diri dari virus bernama korupsi. NU dan Muhammadiyah harus saling
bahu membahu melakukan penyuluhan moralitas sekaligus spritualitas, agar rakyat
sadar betapa korupsi merupakan musuh utama bangsa ini.
Upaya pemberantasan tentu saja
tidak hanya cukup digalang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
Kepolisian. Akan tetapi juga butuh peran dari beberapa ormas yang konsen
membekali sekaligus membentengi umat dengan nilai-nilai moral dan spritual.
Dengan begitu, perlahan tapi pasti, korupsi akan mudah diatasi.
Itulah terapi moral dan spritual
yang dibutuhkan bangsa kini ditengah "demam korupsi" yang melanda
sendi-sendi kehidupan bangsa ini. Tidak ada pilihan lain bagi NU dan
Muhammadiyah kecuali berperan secara aktif melakukan pemberantasan sejak dini
berupa terapi moral dan spritual sebagaima telah diisinggug sebelumnya.
*Penulis adalah kader PMII Ashram Bangsa
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Angkatan 2011 (Korp Komando Pergerakan Intelektual)
Beberapa
karya-karyanya sudah tersebar di media-media lokal dan nasional.
Dan saat ini mejadi pengamat Sosial dan Politik
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
0 Response to "Korupsi, Dosa Sosial yang Menghancurkan"
Post a Comment