PERKEMBANGAN REGULASI HUKUM KEJAHATAN SIBER: INOVASI DAN PENEGAKAN
Saturday, February 1, 2025
Add Comment
Sumber: Pengadilan Negeri Curup
ANALISIS SITUASI
Dalam beberapa dekade terakhir, teknologi informasi dan komunikasi mengalami kemajuan dan merubah aspek, termasuk bidang hukum. Dengan kemajuan ini, muncul berbagai peluang baru, tetapi juga tantangan yang kompleks, terutama dalam hal keamanan siber. Kejahatan siber, yang mencakup berbagai pelanggaran ilegal yang dilakukan melalui media elektronik, telah menjadi salah satu masalah utama yang dihadapi oleh negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Kejahatan siber mencakup berbagai bentuk tindakan kriminal, seperti penipuan online, pencurian identitas, peretasan, dan serangan terhadap infrastruktur kritis. Menurut laporan dari lembaga keamanan siber, jumlah serangan siber terus meningkat setiap tahun dengan dampak yang merugikan baik bagi individu maupun organisasi. Dalam situasi seperti ini, memiliki regulasi hukum yang memadai sangat penting untuk memerangi kejahatan siber dan melindungi masyarakat dari ancaman yang tersedia.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Indonesia menjadi landasan hukum untuk menangani kejahatan siber dan mengatur transaksi elektronik. Namun, regulasi saat ini seringkali tidak dapat mengikuti perkembangan teknologi yang cepat. Ini karena mereka seringkali tidak dapat mengikuti perkembangan dan kompleksitas kejahatan siber yang baru muncul. Hal ini menciptakan tantangan dalam penegakan hukum, di mana aparat penegak hukum sering kali kesulitan untuk menangani kasus-kasus kejahatan siber yang semakin canggih (Sihombing, 2013). Pecepatan kemajuan teknologi merupakan kendala utama bagi penegakan hukum kejahatan siber. Pelaku kejahatan siber sering kali menggunakan teknologi terbaru untuk melakukan aksinya, sehingga aparat penegak hukum harus terus-menerus memperbarui pengetahuan dan keterampilan mereka. Selain itu, kejahatan siber sering kali bersifat lintas negara, yang membuat penegakan hukum menjadi lebih kompleks. Kerjasama internasional menjadi sangat penting dalam menangani kejahatan siber, namun hal ini juga menghadapi berbagai kendala, seperti perbedaan regulasi antar negara.
Di sisi lain, inovasi dalam regulasi hukum juga diperlukan untuk menciptakan kerangka hukum yang lebih responsif terhadap perkembangan teknologi dan ancaman kejahatan siber. Pembaruan regulasi yang berkelanjutan, serta peningkatan kapasitas aparat penegak hukum menjadi sangat penting untuk menghadapi tantangan ini. Selain itu, kesadaran masyarakat tentang kejahatan siber dan perlindungan hukum yang tersedia juga perlu ditingkatkan agar individu dapat melindungi diri mereka dari ancaman yang ada.
A. Perkembangan Regulasi Hukum Kejahatan Siber di Indonesia
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk bidang hukum. Salah satu masalah besar bagi sistem hukum Indonesia adalah kejahatan siber, yaitu aktivitas yang melanggar hukum yang dilakukan melalui media elektronik. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun 2008, yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, mengatur kejahatan siber.
Namun, UU ITE mengatur berbagai jenis kejahatan elektronik, seperti mengakses sistem komputer secara ilegal, mencemari nama baik melalui media elektronik, dan menyebarkan konten yang berbahaya bagi masyarakat. Pasal 27 ayat (3) UU ITE melarang mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi yang melanggar kesusilaan, penghinaan, atau pencemaran nama baik. Pasal 30 UU ITE juga melarang mengakses sistem elektronik milik orang lain secara ilegal.
Meskipun UU ITE, menjadi dasar hukum utama dalam mengatasi kejahatan siber, dalam praktiknya, banyak tantangan yang muncul. Salah satunya adalah cepatnya perkembangan teknologi yang seringkali tidak dapat diikuti oleh regulasi yang ada. Sebagai contoh, dengan munculnya teknologi seperti blockchain dan cryptocurrency, masalah baru terkait pencucian uang dan pendanaan terorisme melalui transaksi yang tidak terdeteksi oleh otoritas telah muncul. Regulasi yang tidak mendukung kemajuan teknologi ini seringkali membuat implementasi mereka sulit.
Berbagai elemen terkait informasi dan transaksi elektronik diatur oleh UU ini, termasuk perlindungan data pribadi dan penanganan kejahatan siber seperti penipuan, pencurian identitas, dan penyebaran konten ilegal. Seiring dengan meningkatnya ancaman kejahatan siber, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan peraturan-peraturan turunan yang lebih spesifik, seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri, misalnya yang mengatur keamanan siber dan perlindungan data pribadi. Selain itu, Indonesia aktif dalam kerjasama internasional, termasuk partisipasi dalam Konvensi Budapest untuk memperkuat upaya penegakan hukum di tingkat global.
Tanpa disadari analisis terhadap berbagai sumber mengenai perkembangan hukum siber di Indonesia memunculkan isu penting sehingga sangat urgen untuk diperhatikan. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Haprasi (Darmawan, 2018), mengidentifikasikan bahwa hukum siber di Indonesia masih dalam tahap perkembangan awal dengan banyaknya peraturan yang belum terintegrasi secara universal. Hal ini tentunya memunculkan kecahatan siber (cyber crime) semakin kompleks.
Disisi lain perlu sekiranya sebuah pembaharuan regulasi yang lebih responsif terhadap perkembangan teknologi. Pembentukan undang-undang baru yang khusus untuk menangani isu-isu siber sangat penting untuk menjaga relevansi hukum dalam menghadapi dinamika yang terus berubah untuk dihadapi. Ini mencakup perlindungan data pribadi, tanggung jawab platform digital, dan tentunya mekanisme penegakan hukum yang lebih kuat (Tahir, 2023). Dalam sejarahnya hukum cyber Indonesia mengalami perkembangan (Saiful, 2024), yaitu dimulai dari:
Pertama, ketika Undang-Undang No. 11 tahun 2008 ditetapkan, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) adalah undang-undang utama yang mengatur dunia maya di Indonesia. Langkah legislatif ini mencakup segudang elemen, tetapi tidak terbatas pada transaksi elektronik, tanda tangan digital, dan pelanggaran dunia maya seperti pencurian data dan penipuan internet. Khususnya, Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang ITE adalah satu-satunya ketentuan yang secara eksplisit menjamin perlindungan data pribadi pasca-pemrosesan, sedangkan Pasal 27 hingga 37 menggambarkan peraturan yang berkaitan dengan perilaku melanggar hukum dalam ranah informasi elektronik yang tidak secara tegas terkait dengan data pribadi. Secara kolektif, ketentuan ini secara tegas melarang tindakan pelanggaran dan eksploitasi informasi elektronik yang disengaja yang dapat membahayakan orang lain terutama pemilik informasi tersebut. Amandemen Undang-Undang ITE telah dilembagakan untuk menyelaraskan dengan kemajuan teknologi dan tuntutan yurisprudensi hukum yang berkembang.
Kedua, Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Data Pribadi; Penjagaan data pribadi merupakan prinsip fundamental dalam ekonomi digital, khususnya di Indonesia, di mana aspek ini ditingkatkan melalui berbagai inisiatif yang mencakup kerangka kerja legislatif dan peraturan. Platform digital di Indonesia yang kemudian ditunjuk sebagai Electronic System Organizer (PSE) beroperasi di sektor publik dan swasta semakin melakukan pembuatan, pengumpulan, dan pemrosesan data publik. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa insiden signifikan telah terjadi yang melibatkan pelanggaran data pribadi di mana aktor jahat telah melakukan serangan untuk mengambil alih data dari database yang dimiliki oleh entitas pemerintah. Dua peristiwa yang paling terkenal adalah pelanggaran atau penyebaran data oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Penyelenggara Jaminan Soal Kesehatan (BPJS Kesehatan). Selain organisasi media, kebocoran atau pelanggaran data juga telah berdampak pada platform pasar online seperti Tokopedia dan Bukalapak, serta platform konten buatan pengguna seperti Facebook.
Kerangka perlindungan data yang menyeluruh tidak hanya akan membangun mekanisme untuk memerangi peretas, penipu, dan penjahat dunia maya lainnya, tetapi juga akan menerapkan sistem akuntabilitas hukum untuk entitas layanan publik (PSE) untuk memastikan bahwa mereka melakukan tindakan yang tepat, terutama untuk memastikan apakah mereka memikul tanggung jawab atas pelanggaran data atau untuk menerapkan strategi pencegahan untuk mencegah pelanggaran data serupa terjadi di masa depan. Dalam jangka panjang, kerangka perlindungan data diharapkan untuk meningkatkan kepercayaan konsumen dan mendorong keterlibatan digital. Pada akhirnya, ini akan mendorong investasi, persaingan, dan inovasi di ekonomi digital Indonesia.
Pemerintah Indonesia telah memberlakukan beberapa peraturan untuk melindungi data pribadi karena kesadaran akan pentingnya privasi data semakin meningkat. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Sistem Elektronik dan Penyelenggara Transaksi, bersama dengan Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, menetapkan aturan untuk menjamin keamanan data pribadi dengan metodologi top-down. Kemenkominfo bertindak sebagai regulator dan administrator utama. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 dan peraturan pelaksanaannya, Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020, Kementerian Kesehatan memiliki wewenang untuk memastikan bahwa semua platform yang ditunjuk sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) telah melakukan pendaftaran dengan Kemenkominfo melalui sistem Online Single Submission (OSS) sebelum platform tersebut dapat digunakan. PSE domestik (badan hukum Indonesia) dan PSE asing yang memberikan layanan dalam yurisdiksi Indonesia harus didaftarkan.
Jika PSE melanggar peraturan yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan, terutama yang berkaitan dengan pengamanan data pribadi, Kominfo dapat memberlakukan tindakan hukuman terhadap mereka. Tindakan ini dapat mencakup peringatan tertulis, hukuman keuangan, pembatalan Daftar Merek PSE, dan penghentian akses, dan dapat berdampak negatif pada kemampuan PSE yang bersangkutan untuk beroperasi di yurisdiksi Indonesia. Seperti yang ditunjukkan oleh tindakan hukuman terakhir, PSE tidak akan lagi tersedia di pasar Indonesia. Kemenkominfo memiliki wewenang untuk meminta Internet Service Provider (ISP) untuk menghentikan akses ke PSE yang tanda registrasinya telah dibatalkan.
Sementara Kemenkominfo memuji upayanya untuk menegaskan otoritas pengawas data pribadi melalui berbagai mekanisme pengaturan (seperti pendaftaran PSE, investigasi, denda, dan penghentian akses), pendekatan saat ini tidak melibatkan sektor swasta karena:
a. Tidak ada upaya sistematis yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia terkait masalah privasi dan keamanan. Kehadiran staf profesional yang kuat yang ditugaskan untuk melindungi platform dari kebocoran data atau pelanggaran privasi adalah inti dari penerapan protokol privasi dan keamanan yang efektif. Sangat penting bagi para profesional terkait untuk mendapatkan pendidikan profesional dan program pelatihan eksekutif secara konsisten untuk mencapai tujuan ini. Industri jasa keuangan memiliki struktur yang sebanding, di mana pendidikan eksekutif berkelanjutan dalam bidang keahlian tertentu, seperti manajemen risiko, dianggap penting.
b. Strategi pencegahan yang ada saat ini tidak cukup. Data yang dikumpulkan oleh Kemenkominfo menunjukkan bahwa 93% dari insiden yang dilaporkan berasal dari pelanggaran atau kebocoran data sebelumnya. Untuk menetapkan standar teknis dan memastikan bahwa mereka diterapkan secara konsisten terlepas dari peristiwa yang terkait dengan privasi, langkah pencegahan yang ditingkatkan sangat diperlukan.
c. Sehubungan dengan proliferasi signifikan yang disaksikan oleh platform karena ekspansi cepat ekonomi digital, Kementerian Keuangan saat ini tidak memiliki sumber daya dan kapasitas yang diperlukan untuk mengatur secara menyeluruh seluruh industri. Portal PSE yang dikelola Kemenkominfo saat ini mencakup lebih dari 4.000 PSE domestik dan internasional. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat. Kemenkominfo akan membutuhkan sejumlah besar penyelidik dan pengawas untuk secara efektif memenuhi mandatnya. Kerangka kerja kolaboratif dengan mitra terkemuka dapat mengurangi kendala sumber daya yang dihadapi oleh Kemenkominfo, sehingga memfasilitasi penegakan ketat peraturan perlindungan data pribadi sambil secara bersamaan menegakkan pendekatan yang efisien dan tidak mengganggu terhadap regulasi internet (sentuhan ringan).
d. Mengingat bahwa badan pengatur yang beroperasi dalam domain digital memiliki kapasitas untuk memaksakan peraturan mereka sendiri pada kegiatan analog, pertanyaan muncul mengenai entitas yang diberi yurisdiksi untuk memastikan apakah protokol keamanan perusahaan sesuai dengan standar perlindungan yang diamanatkan oleh UU PDP, khususnya apakah tanggung jawab ini terletak pada Kementerian Informasi atau badan pengatur disiplin (misalnya, OJK dalam arena fintech, atau Kementerian Perdagangan di bidang e-commerce) (Ajisatria, 2022).
Ketiga, Pembentukan Badan Siber dan Kata Sandi Negara (BSSN) telah menggambarkan setidaknya tiga peran dan fungsi utama, khususnya: pertama, perumusan kebijakan strategis yang berkaitan dengan ancaman cyber dan tanggapan yang sesuai. Kebijakan tentang strategi terkait cyber ini akan bertindak sebagai titik acuan bagi berbagai lembaga dan kementerian yang terlibat dalam operasi cyber. Selain itu, ini menggarisbawahi dampak signifikan yang akan ditimbulkan oleh fungsi pembuatan kebijakan mengenai masalah cyber terhadap kelangsungan operasional BSSN itu sendiri. Kedua, badan tersebut ditugaskan untuk mengkoordinasikan upaya di antara enam entitas yang terlibat dalam fungsi cyber, yang meliputi Kementerian Luar Negeri, yang bertanggung jawab atas diplomasi cyber; Kementerian Pertahanan dan militer, yang mengawasi pertahanan dunia maya; Polisi, yang bertugas menangani kejahatan dunia maya; dan BSSN sendiri, yang bertanggung jawab atas keamanan siber dan perlindungan, bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang mengelola penyaringan internet. Terakhir, badan tersebut memiliki fungsi operasional yang terbatas. Aspek ini sering ditafsirkan oleh publik sebagai mandat operasional yang berlebihan. Istilah “Fungsi operasional terbatas” mengacu pada pelaksanaan tugas yang selaras dengan tiga kekuatan utama yang diberikan kepada BSSN.
Kendatipun demikian, perkembangan hukum siber di Indonesia mengalami kemajuan, tantangan yang signifika masih ada. Maka dari itu, langkah-langkah yang strategis mencakup peningkatan regulasi, edukasi masyarakat, dan kolaborasi multisektoral diperlukan untuk mengatasi masalah ini secara efektif. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif, Indonesia dapat menciptakan hukum siber yang kuat dan responsif, yang dapat melindungi keamanan sosial di era digital.
B. Tantangan dan Solusi Keamanan Nasional dalam Hukum Siber di Indonesia
Ada dua definisi kejahatan siber cyber crime didefinisikan dalam arti luas sebagai kejahatan yang berkaitan dengan komputer di mana pelaku secara illegal menggunakan sistem komputer dan jaringan. Dalam arti sempit, cyber crime didefinisikan sebagai kejahatan komputer di mana pelaku secara illegal atau melanggar menyerang sistem keamanan komputer dan data yang diproses oleh komputer lain. Kejahatan siber, sangatlah kompleks dan dapat mengambil beberapa bentuk, antara lain (Agus Subagwo, 2015):
1. Hacking, juga disebut peretasan adalah memasuki program komputer orang lain. Hacking terdiri dari dua jenis: hacking budiman, yang tidak merusak; dan hacking pencoleng, yang memasuki komputer untuk merusak dan atau mencuri data. Hacking pencoleng, juga disebut "Cracking" memiliki sasaran yang kompleks, seperti data base seperti kartu kredit, akun bank, informasi pelanggan, dan pembelian barang dengan kartu kredit palsu (Ineu Rahmawati, 2017).
2. Cyber sabotase, juga dikenal sebagai sabotase internet, adalah aktivitas yang dilakukan dengan mengganggu, mengrusak, atau menghancurkan data, program komputer, atau sistem jaringan yang terhubung ke internet. Sabotase dilakukan dengan menggunakan komputer dan satelit untuk mengetahui lokasi peralatan tempur musuh. Ini juga dapat mencakup penyadapan informasi dan mengganggu peralatan komunikasi yang terkait dengan infrastruktur transportasi, air, bahan bakar, energi, dan komunikasi. Gangguan ini dapat terjadi pada perangkat hard- dan soft-ware. Mcdonnell dan Sayers menjelaskan tiga (3) jenis ancaman siber ketika mereka berbicara tentang sabotase melalui perangkat hardwere dan softwere, yang pertama adalah ancaman perangkat keras, terjadi karena perangkat keras tertentu yang melakukan tugas tertentu di dalam sistem sehingga perangkat keras tersebut berpotensi mengganggu perangkat keras dan sistem jaringan lainnya (Amarmuazam, 2001). Kedua adalah ancaman perangkat lunak, terjadi karena berpotensi mengancam perangkat lunak.
3. Cyber spionase dan propaganda siber: Jenis ancaman yang ditimbulkan oleh media siber terhadap suatu negara termasuk spionase dan propaganda siber. Sebenarnya, spionase siber adalah tindakan kriminal yang menggunakan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap orang lain dengan memasuki sistem jaringan komputer pihak sasaran. Salah satu definisi lain dari cyber spionase adalah pengumpulan informasi rahasia dari musuh, pesaing, kelompok pemerintah, dan musuh dalam bidang militer, politik, dan ekonomi melalui eksploitasi ilegal internet, jaringan, perangkat lunak, dan perangkat keras. Sebaliknya, propaganda siber adalah usaha untuk mempengaruhi pendapat publik. Propaganda di internet dapat mengancam kestabilan negara.
4. Cyberattack adalah setiap tindakan yang sengaja dilakukan untuk mengganggu kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan informasi. Jika yang diserang adalah musuh, cyber attac atau cyber espionage disebut sebagai cyber attack. Cyber espionage adalah praktik mencuri informasi, terutama hasil penelitian dari universitas atau perusahaan, kemudian mengirimkannya ke lembaga lain dengan tujuan mendapatkan keuntungan finansial atau mendapatkan informasi tersebut tanpa mengeluarkan banyak uang untuk melakukan penelitian (Rika Isnarti, 2016).
5. Carding adalah berbelanja menggunakan identitas dan nomor kartu kredit orang lain yang diperoleh secara ilegal, seperti pencurian data internet.
6. Spyware merupakan sebuah program yang merekam semua aktivitas online seseorang secara rahasia, kemudian dijual kepada pihal lain.
7. Vandalisme adalah jenis pertempuran siber di mana serangan denial of service digunakan untuk merusak sumber daya komputer lain atau halaman web. Deface biasanya digunakan oleh propaganda melalui situs web, email, massage instan, atau SMS.
8. Penembakan jaringan listrik: Serangan jenis ini dapat menyebabkan pemadaman jaringan listrik, mengganggu ekonomi, dan mengalihkan perhatian dari serangan militer lawan yang berlangsung secara bersamaan, yang dapat menyebabkan trauma nasional. Perang siber adalah jenis perang baru yang disebut sebagai "Perang hibrida" atau "Perang hibrida". Kedua jenis perang ini sangat kompleks karena menggunakan berbagai metode, pendekatan, teknik, dan taktik perang. Perang siber sendiri adalah perang di mana satuan komando kendali militer modern menggunakan teknologi sistem informasi untuk membantu mereka berkomunikasi (Nur Khalimatus Sa’diyah, 2016).
Ancaman siber semakin kompleks dan merugikan bagi para korban yang terkena dampaknya. Masyarakat sangat berdampak buruk oleh kejahatan siber, yang disebabkan oleh minimnya pemahaman tentang kejahatan yang terjadi di jaringan internet serta kekurangan perlindungan dan keamanan data pribadi yang tidak lagi efektif. Selain itu, kurangnya perangkat dan jangkauan tambahan juga menjadi kendala dalam mengatasi kejahatan siber ini. Terdapat beberapa tantangan lain dalam meningkatkan kebijakan keamanan siber, dimana sifat ancaman siber yang multi dimensi menjadikan penanganannya bukan hanya menjadi tanggung jawab TNI atau Polri saja.
Ancaman keamanan siber memiliki dampak yang signifikan pada semua jenis industri tanpa terkecuali. Beberapa industri yang sering dilaporkan mengalami serangan siber dalam beberapa tahun terakhir meliputi pelayanan kesehatan, manufaktur, keuangan, dan pemerintahan. Sejumlah sektor ini menjadi target yang menarik bagi penjahat siber karena mereka mengumpulkan data sensitif seperti data medis dan keuangan, tetapi sebenarnya semua bisnis yang menggunakan jaringan dapat menjadi target untuk pencurian data pelanggan, spionase industri, atau serangan dari pelanggan.
Pelaku kejahatan siber dapat memiliki latar belakang yang berbeda-beda, termasuk peretas yang terampil, pengguna yang tidak bermoral, dan organisasi kejahatan yang terorganisir. Mereka dapat memiliki motivasi yang beragam, seperti mencuri data pribadi atau rahasia perusahaan, mencari keuntungan finansial, melakukan sabotase terhadap sistem atau jaringan, atau hanya melakukan kegiatan kriminal yang merugikan orang lain. Serangan phishing, serangan malware, serangan DDoS, dan pencurian identitas adalah beberapa metode yang dapat digunakan oleh pelaku kejahatan siber. Pelaku kejahatan siber semakin terorganisir dan terampil seiring dengan kompleksitas teknologi dan ketergantungan masyarakat pada internet. Akibatnya, keamanan siber menjadi semakin penting untuk dilakukan.
Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh kejahatan siber sangat besar dan terus meningkat. Menurut laporan Cybersecurity Ventures, pada tahun 2021 saja diperkirakan kerugian ekonomi global akibat kejahatan siber mencapai lebih dari 6 triliun USD. Hal ini disebabkan oleh biaya pemulihan sistem yang terkena serangan, biaya perlindungan keamanan siber, hilangnya data dan informasi penting, serta hilangnya reputasi perusahaan akibat serangan tersebut. Selain itu, kejahatan siber juga dapat menyebabkan kerugian operasional, pengurangan produktivitas, dan penurunan pendapatan. Kerugian tersebut tidak hanya dialami oleh perusahaan, tetapi juga oleh individu dan pemerintah.
Menurut penelitian Atlas VPN tahun 2020, kejahatan siber telah merugikan bisnis, lembaga pemerintahan, dan konsumen sebanyak $1 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar $945 miliar hilang akibat insiden siber, sementara $145 miliar dihabiskan untuk meningkatkan keamanan siber. Biaya ini meningkat lebih dari 50% dibandingkan tahun 2018, ketika sekitar $600 miliar dikeluarkan untuk mengatasi kejahatan siber. Menurut data dari para peneliti di Atlas VPN pada tahun 2020, kerugian ekonomi akibat kejahatan siber mencapai $1 triliun dan banyak bisnis, lembaga pemerintahan, dan konsumen yang terkena dampaknya. Namun, 20% organisasi di seluruh dunia tidak memiliki strategi untuk melindungi diri dari serangan siber. Satu-satunya cara pasti untuk meningkatkan keamanan siber adalah dengan memperjuangkan undang-undang yang mendukung pengembangan teknologi keamanan. Untuk mengikuti perkembangan ekonomi yang memerlukan transformasi digital, organisasi harus memprioritaskan keamanan siber dan menerapkan praktik DevSecOps sebagai bagian dari strategi mereka.
Analisis terhadap tantangan yang dihadapi dalam konteks hukum siber di Indonesia menunjukkan bahwa kejahatan siber telah menjadi salah satu ancaman utama bagi keamanan nasional. Pertama, meningkatnya kompleksitas dan variasi jenis kejahatan siber, seperti peretasan, penipuan online, dan penyebaran informasi palsu, menciptakan tantangan besar bagi aparat penegak hukum.
Kedua, ketidakjelasan dan ketidaklengkapan regulasi siber menjadi penghalang utama dalam penegakan hukum. Definisi hukum mengenai kejahatan siber sering kali ambigu, membuatnya sulit untuk menuntut pelaku kejahatan. Ketidakpastian ini menyebabkan banyak kasus kejahatan siber tidak dapat ditindaklanjuti secara hukum, menciptakan impunitas bagi pelanggar (Pratama, 2024).
Ketiga, kurangnya kesadaran masyarakat tentang keamanan siber juga menjadi tantangan signifikan. Banyak individu dan organisasi tidak sepenuhnya memahami risiko yang terkait dengan aktivitas online mereka, yang membuat mereka menjadi target empuk bagi pelaku kejahatan. Perlu adanya program edukasi yang lebih luas untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai keamanan siber.
Sebagai solusi untuk mengatasi tantangan ini, peran yang dimiliki oleh pemerintah dalam isu keamanan siber merupakan sebuah hal yang penting, dimana bukan hanya individu maupun perusahaan yang bertanggung jawab didalamnya. Hal ini juga tertumpah di dalam laporan yang diberikan oleh Cybersecurity Ventures pada tahun 2021, yang diperkirakan bahwa sebanyak $6 triliun kerugian dapat terjadi akibat serangan siber, namun jumlah yang telah diberikan tersebut diperkirakan dapat meningkat menjadi $10,5 triliun di tahun 2025. Oleh sebab itu, adanya keikutsertaan pemerintah dalam penanganan permasalahan keamanan siber ini sangat penting demi mencegah dan melindungi infrastruktur yang bersifat kritis dari ancaman siber yang semakin meningkat.
Beberapa tindakan yang dapat diambil oleh pemerintah meliputi:
1) Pembuatan Kebijakan dan Regulasi: Pemerintah dapat membuat kebijakan dan regulasi yang mengatur tindakan keamanan siber dan memastikan bahwa perusahaan dan individu mematuhi standar keamanan tertentu;
2) Meningkatkan Pemahaman Publik Tentang Keamanan Siber: Pemerintah dapat mengadakan kampanye edukasi untuk meningkatkan kesadaranmasyarakat tentang ancaman keamanan siber dan cara-cara untuk melindungi diri mereka;
3) Meningkatkan Kapasitas dan Keterampilan Tenaga Kerja: Pemerintah dapat memberikan pelatihan dan sumber daya untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja di bidang keamanan siber sehingga mereka dapat mengembangkan strategi keamanan yang lebih efektif;
4) Kolaborasi Antara Sektor Publik dan Swasta: Pemerintah dapat bekerja sama dengan perusahaan swasta dan organisasi terkait lainnya untuk membuat rencana keamanan siber yang lebih baik dan berbagi informasi tentang ancaman keamanan siber yang baru.
Dengan perkembangan teknologi digital yang semakin pesat, insiden keamanan siber semakin kompleks dan semakin meningkat. Setiap negara harus merespon dengan serius jika terjadi ancaman keamanan siber. Beberapa langkah yang dapat diambil oleh negara untuk merespon ancaman ini termasuk membentuk tim respons keamanan siber yang terlatih dan siap untuk merespon insiden dengan cepat dan efektif. Tim respons keamanan siber BSSN ini harus terdiri dari para ahli keamanan siber yang dapat mengidentifikasi dan menangani ancaman keamanan siber dengan cepat dan efektif.
Selain itu, negara juga harus menjalin kerja sama dengan negara lain dalam rangka memperkuat pertahanan keamanan siber. Kerja sama dapat dilakukan dengan berbagi informasi tentang ancaman keamanan siber, melakukan pelatihan bersama, dan berkoordinasi dalam penanganan insiden keamanan siber. Negara harus memiliki kebijakan keamanan siber yang jelas dan komprehensif untuk melindungi infrastruktur kritis, data sensitif, dan hak privasi warga negara. Kebijakan ini harus mencakup semua aspek keamanan siber, termasuk perlindungan terhadap serangan siber, pengawasan dan penanganan insiden keamanan siber, dan pelatihan untuk meningkatkan kesadaran keamanan siber.
Selanjutnya, negara juga harus menginvestasikan dalam teknologi keamanan siber yang dapat mengidentifikasi dan mencegah serangan keamanan siber. Investasi ini harus mencakup pengembangan teknologi keamanan siber yang baru dan meningkatkan kapasitas infrastruktur keamanan siber yang sudah ada. Terakhir, negara harus mengambil tindakan hukum terhadap mereka yang melakukan kejahatan siber untuk memastikan bahwa mereka bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Tindakan hukum dapat mencakup pengadilan dan hukuman yang tegas bagi pelaku kejahatan siber. Penting untuk diingat bahwa dalam semua hal di atas penting untuk mengedepankan koordinasi, transparansi dan partisipasi masyarakat agar dapat membangun sistem keamanan siber yang andal dan terpercaya. Negara harus bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan dalam meningkatkan kesadaran dan memperkuat pertahanan keamanan siber.
C. Teknologi Keamanan Siber Kontemporer
Teknologi keamanan siber kontemporer terdiri dari beberapa teknologi keamanan siber yang berbeda yang dirancang untuk melindungi sistem, jaringan, dan data dari serangan siber yang semakin canggih dan kompleks. Sistem Deteksi Intrusi (IDS) dan Sistem Pencegahan Intrusi (IPS) adalah teknologi yang digunakan untuk mencegah dan mengidentifikasi serangan siber. Aktivitas yang mencurigakan di dalam sistem juga diidentifikasi oleh IDS. Manajemen akses, firewall, dan enkripsi adalah beberapa teknologi keamanan siber modern yang umum digunakan (Shrestha, 2020).
Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai ketiga teknologi keamanan siber modern tersebut: 1). Firewall, teknologi keamanan siber yang berfungsi untuk melindungi jaringan dari serangan siber dan ancaman eksternal lainnya. Firewall ini bekerja dengan memblokir akses ke jaringan atau sistem yang tidak diizinkan atau mencurigakan. Firewall juga dapat menentukan jenis lalu lintas jaringan yang diizinkan atau tidak diizinkan; 2). Enkripsi adalah teknologi keamanan siber yang melindungi data dari serangan siber karena membuat data tidak dapat dibaca oleh pihak yang tidak berwenang. Ini biasanya dilakukan dengan menggunakan kunci enkripsi, sehingga hanya orang yang memiliki kunci ini yang dapat membaca atau mengakses data yang dienkripsi; 3). Manajemen Akses adalah teknologi keamanan siber yang digunakan untuk mengontrol akses ke sistem, jaringan, atau data dalam organisasi. Teknik manajemen akses memungkinkan pengguna mengakses sumber daya hanya jika mereka memiliki hak akses yang diperlukan untuk posisi atau pekerjaan mereka. Ini mencegah orang tidak sah mengakses data atau sistem sensitif. Untuk melindungi sistem, jaringan, dan data organisasi dari serangan siber, organisasi harus menggunakan teknologi keamanan siber kontemporer ini, baik secara terpisah maupun bergabung.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang menggunakan internet, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan keamanan dan privasi sistem dan data komputer. Ada beberapa cara untuk mengatasi hal ini, salah satunya adalah dengan melakukan upaya untuk melindungi jaringan internet dari serangan cyber dan mengurangi efek negatif dari serangan tersebut. Beberapa langkah dapat diambil untuk mencapai tujuan tersebut. dengan cara efektif terhadap ancaman siber yang dapat dilakukan, antara lain:
1) Memasang dan Menambahkan Proteksi; Dalam menjaga kerahasiaan informasi, instalasi perlindungan menjadi halpenting. Perlindungan tersebut dapat berupa antivirus atau firewall. Antivirus digunakan untuk mengidentifikasi perangkat lunak yang berpotensi merusak sistem dan data pada komputer.
2) Memantau Serangan Virus atau Hacker; Terkadang serangan dari perusak (hacker) dapat dilakukan tanpa sepengetahuan administrator keamanan jaringan. Oleh karena itu, diperlukan sistem pemantauan untuk mendeteksi serangan tersebut. Sistem yang langsung memberikan peringatan kepada administrator atau service center melalui alarm, sinyal, bahkan pesan email ketika terjadi serangan. Contoh dari IDS adalah tcpdump yang dapat menganalisa paket apa saja yang melewati jaringan.
3) Menutup Layanan; Sebuah sistem operasi dilengkapi dengan layanan yang secara default diaktifkan. Salah satu contohnya adalah protokol jaringan, yang memungkinkan seseorang untuk terhubung dengan internet secara interaktif. Akan tetapi, layanan ini dapat dimanfaatkan oleh perusak atau hacker untuk melakukan serangan seperti hacking terhadap situs web, misalnya dengan mengubah tampilan halaman situs. Oleh karena itu, jika layanan Telnet tidak dibutuhkan, sebaiknya dinonaktifkan untuk menghindari risiko keamanan
4) Melakukan Backup; Karena kejahatan hacking semakin rumit dan persebaran informasi menjadisasaran utama para perusak, melakukan backup secara rutin menjadi sangat penting sebagai opsi alternatif. Jika perusak (hacker) berhasil menembus sistem keamanan, dan berhasil meretas komputer korban, biasanya data yang ada di dalamnya menjadi sasaran berikutnya. Apabila data berhasil disalin, maka data asli yang ada didalam komputer korban dapat dirusak atau dimanipulasi sehingga tidak dapat digunakanlagi. Backup dilakukan untuk menghindari kehilangan data dan untuk menghapus jejak informasi yang telah disalin oleh perusak (Justin Riep, 2023).
Pentingnya kesiapsiagaan dalam menghadapi serangan siber karena semakin cepat tanggapannya, semakin kecil dampak yang ditimbulkan. Masalah keamanan siber menjadi semakin penting di era digitalisasi karena semakin banyaknya aktivitas yang dilakukan secara online dan semakin kompleksnya infrastruktur digital yang digunakan. Ancaman siber juga dapat berdampak terhadap individu, organisasi, dan masyarakat secara luas, seperti hilangannya data penting, pencurian identitas, kerugian finansial, dan bahkan dapat membahayakan nyawa. Penegakan hukum yang tegas bagi para pelaku kejahatan siber.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Buku dan Jurnal
Sihombing, R. 2013. "Kejahatan Siber dan Penegakan Hukum di Indonesia." Jurnal Hukum dan Pembangunan, 43, 2, 123-145.
Darmawan, R. “Perlindungan Hukum terhadap Kejahatan Siber di Indonesia.” Jurnal Hukum dan Teknologi, vol. 10, no. 2, 2018, pp. 55-72.
Haprasi, Ancaman Cybercrime di Indonesia: Sebuah Tinjauan Pustaka Sistematis, In Jurnal Konstituen, 2023, vol. 5.
Tahir, Metodologi Penelitian Bidang Hukum: Suatu Pendekatan Teori dan Praktik, In PT. Sonpedia Publishing Indonesia, 2023, hlm. 23.
Syaiful, Perkembangan Hukum Cyber di Indonesia: Menghadapi Ancaman dan Tantangan Digital, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Medan Area, 2024
Ajisatria Dkk, Pengaturan Bersama dalam Perlindungan Data Pribadi: Potensi Peran Asosiasi Industri Sebagai Organisasi Regulator Mandiri, Jakarta: Makalah Kebijakan No. 50, Center for Indonesian Policy Studies, 2022, hlm. 13-18.
Agus Subagyo, “Sinergi dalam Menghadapi Ancaman Cyber Warfare”, Jurnal Pertahanan April 2015, Vol. 5, No. 1, h. 5.
Ineu Rahmawati, “Analisis Manajemen Resiko Ancaman Kejahatan Siber (cyber crime) dalam Peningkatan Cyber Defense”, Jurnal Pertanahan dan Bela Negara, Vol. 7, No. 2, 2017, hlm. 59-60
Amarmuazam Usmani Bin Othman. “Analisis penggunaan media siber terhadao keamanan nasional suatu studi di Malaysia. Jurnal Prodi strategi pertahanan darat Desember 2001, Volume 3, Nomor 3.
Rika Isnarti “A Comparison of Neorealism, Liberalism, and Constructivism in Analysing Cyber War”, Andalas Journal of International Studies Andalas 2016 Vol 5 No 2 November.
Nur Khalimatus Sa’diyah dan Ria Tri Vinata, “Rekonstruksi pembentukan national cyber defence sebagai upaya mempertahankan kedaulatan negara”, Perspektif Volume XXI No. 3 Edisi September, Tahun 2016.
Pratama, “Keamanan Data dan Informasi”, In kaizen Media Publishing, 2024, hlm. 34.
Shrestha, S., & Shrestha, R., “A Comprehensive Study on Intrusion Detection System and Intrusion Prevention System”, International Journal of Computer Sciences and Engineering, 2020, 8(7), 423-430.
Justin Riep, Dkk, “Meningkatkan Keamanan Siber: Analisis Komprehensif Terhadap Ancaman Saat Ini dan Penanggulangan yang Efektif”, Converence: Meningkatkan Keamanan Siber, Pontianak, 2023, hlm. 8-10.
Penulis: Kader Rayon Ashram Bangsa
0 Response to " PERKEMBANGAN REGULASI HUKUM KEJAHATAN SIBER: INOVASI DAN PENEGAKAN"
Post a Comment