Marwah Kampus Yang Terdegradasi, Tak Lebih Mewah Dibanding Warung Kopi (Kritik Atas Pembatasan Kebebasan Akademik UIN Sunan Kalijaga )
"Ini Kota Pelajar, tapi rektor-nya kurang ajar…"
-Rocky Gerung
Kutipan orasi diatas muncul ketika terjadi fenomena pembatasan sepihak kebebesan berekspresi dilingkungan kampus setahun yang lalu, di tanah yang berlabel Istimewa ini.
Dan terjadi lagi, publik hari ini yang melek dan tak buta matanya dipertontonkan kembali akan persoalan krusial paling fundamental dalam ruang kampus. Hal yang terjadi ialah rencana diskusi publik merespon realitas sosial yang ada diluar gerbang kampus ternyata harus diberangus. Acara yang digagas oleh Social Movement Institute atau SMI, organisasi yang berisikan aktivis-aktivis demokrasi tersebut harus berpindah lokasi lagi seperti yang terjadi pada saat lahir argumen “rektor kurang ajar” oleh Rocky diatas.
Masih tercatat kutipan dari media Tempo salah satu pendapat Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti pada 10 Desember 2023 mengatakan “Diskusi dikampus yang marak akhir-akhir ini mirip dengan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) era kekuasaan Presiden Suharto. Serupa NKK, yang beda hanya metodenya. Pada era orde baru, larangan itu melalui NKK/BKK, dan kini melalui kebijakan rektor”
Padahal era reformasi hari ini semestinya kampus benar-benar harus menjadi wadah seperti academus di Athena Yunani dahulu kala, tradisi diskusi sebagai identitas keintelektualan harus dijamin dan dirawat bukan malah ditolak guna tumbuh kembang kapasitas mahasiswanya.
Dilarang memperingati Munir
“Mulai sekarang harus kau tanamkan ke kepalamu bahwa hak asasi itu sama pentingnya dengan sepiring nasi”
-Mahbub Djunaidi-
Berbeda tipis dengan acara ditahun lalu, pada kesempatan yang ada kali ini secara garis besar acara yang ingin diperingati ialah dalam rangka mengenang semangat salah satu sosok aktivis HAM yang tewas diracun diudara, tokoh tersebut bernama Munir Said Thalib. Sedangkan bila mengingat acara ditahun lalu bertemakan “Mendobrak Keadilan” yang secara substantif mendiskusikan perihal demokrasi substansial yang makin hari makin terdegradasi nilainya. Dua pokok pembahasan sebenarnya tak begitu jauh substansinya, sebagaimana kedudukan demokrasi dan HAM sendiri ibarat dua mata uang, ditinjau menggunakan konsepsi demokrasi menurut Jhon Locke bahwa didalam sistem tersebut (demokrasi) harus menekankan Hak Alamiah (HAM), serta perlindungan hak-hak minoritas atas tirani mayoritas melalui mekanisme konstitusinonal. Secara holistik wacana yang dibawa pada diskusi terbuka tersebut yang ingin dibahas ialah sama esensinya perihal demokrasi dan bentuk kepedulian terhadapnya.
Sedangkan persamaan yang kontras dalam dua acara yang diselenggarakan oleh penyelenggara dan rencana lokasi yang sama adalah sama-sama dibatalkan. Dapat disimpulkan secara sederhana ternyata kampus tak lebih mewah dari warung kopi perihal kemewahan demokrasi untuk saling bebas dan peduli dalam melemparkan wacana kritis, ruang-ruang berdiskusi perihal demokrasi.
Bila mengacu pada persoalan yang akan dibahas pada kesempatan yang terakhir ini. Memperingati persoalan HAM adalah penting, terutama 10 Desember merupakan hari besar HAM sedunia. Tujuan pada acara yang batal diadakan dikampus hari ini ialah tak lain untuk mengajak, memberi pengetahuan dan menyadarkan kepada segenap pemuda untuk peduli pada hak-hak manusia yang sifatnya asasi dan peduli terhadap demokrasi yang sudah seperti ekosistem mutlak kita pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi sepihak wujud ekspresi dalam ruang public tersebut bukannya malah difasilitasi atau dilindungi, tapi justru secara langsung malah dibatasi, Lucu kan?
Yang berganti hanya sosoknya, tapi tidak dengan otaknya
“Aku mengkritik guruku karena dengan kritikan akan menjadikan guruku tetap hidup”
Sebelum duduk menjadi tirani kampus, Rektor Prof Noorhaidi Hasam S.Ag., M.A., M. Phil., Ph.D. selaku tokoh intelektual terpelajar dulu merupakan salah satu mantan Dekan Fakultas Syari’ah Hukum, sekaligus telah banyak rentetan jejak perjalanan akademisnya yang dalam hal ini kukira dalam mengambil satu kebijakan dalam kepemimpinan mestinya dapat meninjau dengan jernih “Maslahah Mursalah” sesuai kapasitas intelektual yang dimilikinya.
Sebagaimana kaidah fiqh paling dasar yang sudah tak asing lagi terdengar dibangku kelas bahwa “Kebijakan imam/pemerintah bagi rakyat harus berdasar maslahah” mempertimbangkan maslahah dan mudhorotnya bagi rakyat dibawahnya (dalam hal ini mahasiswa) merupakan urgensi yang mutlak, bukan demi kepentingan-kepentingan sepihak. Atau kukira dalam memangku kebijakan terutama pada persoalan ini paling tidak sudah khatam dan akan dipergunakan pisau Utiliarianisme yang sudah tak asing lagi dalam literatur hukum maupun filsafat. Jeremy Bhentam yang mengenalkan konsep bahwa pemerintah maupun pemangku kebijakan harus menjamin "The greatest happines of the greatest number of their citizens”. Menurut konsep yang dipromosikannya bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik, dan sebaliknya yang menimbulkan sakit adalah buruk.
Konsep ini tentu sudah tak asing pula dalam pengetahuan Prof. Makin selaku rektor sebelum digantikan oleh yang baru saat ini yang membuat kebijakan yang sama berupa pembatalan diskusi yang serupa, Keduanya memiliki kapasitas concern dalam rumpun pengetahuan filsafat.
Namun pengetahuan dari kedua rektor sama-sama secara praktis tak mencerminkan kebijaksanaan baik dari kacamata apapun, justru gaya totaliter dan cenderung irasional tanpa memperdulikan kemaslahahatan mahasiswa dan rakyat pada umumnya melalui birokrasi berujung pemberangusan kebebasan akademik maupun berekspresi dilingkungan kampus dan itu yang terjadi dihari kemarin. Tentu hal dimuka adalah suatu nalar mekanis yang tidak sehat untuk dipertontonkan dan berdampak pada mahasiswanya dalam kancah keintelektualan, maupun dikalangan masyarakat pada umumnya. Sebagaimana mestinya hakikat posisi intelektual terutama yang berada dikampus secara jernih dan jujur idealnya bertugas untuk memberikan masukan kepada pemerintah, bukan justru malah tunduk pasrah dihadapannya.
Hal yang paradoks justru kontras bila kita sama-sama mengingat, pada proses pemilu 2024 banyak bermuculan cendikiawan-cendikiawan yang termasuk civitas akademika dosen turun gunung serentak dibeberapa titik mengecam rezim yang cenderung mendegradasi demokrasi, mereka merepresentasikan bahwa kampus melaui sikap dosen tersebut merupakan elemen penting mengatasnamakan moral force dalam menjaga keutuhan demokrasi dan salah satunya UIN SUKA juga turut sempat ikut-ikutan atau istilah hari ini fomo mengambil sikap pada masa itu.
Namun inkonsistensi berpijak dan sikap kini muncul, mahasiswanya justru dilarang untuk melakukan hal yang serupa dalam memperbincangkan hal-hal yang berada diluar gerbang kampus, terutama pada objek yang sama berkaitan dengan kekuasaan-kekuasaan dipemerintahan yang intinya semata-mata tak lain sama halnya berupa wujud kepedulian dorongan moral terhadap demokrasi. Kampus tak lain halnya membatasi mahasiswa untuk melangkah menjadi agen-agen rennasaince, kemudian menjebak dirinya sendiri dalam lembah era kegelapan.
“Tugas cendikiawan antara lain adalah mengatakan bahwa raja telanjang bila kenyataanya memang demikian, dan bukan memolesnya dengan kiasan palsu”
-Albert Camus
Refleksi Akhir
Reformasi lahir, dan kita selaku warga negara secara umum tekhusus yang beruntung, berprivilage, mengenyam pendidikan tinggi telah berjanji untuk mensupremasikan kedaulatan hukum yang berdampingan dengan kedaulatan yang dimiliki rakyat dan ini wajib diperuntukan dan diperjuangkan oleh siapapun, mahasiswa-mahasiswa yang tak hanya hukum, politikus-politikus populis ulung maupun segenap pegiat-pegiat demokrasi.
Tidak meletakan sesuatu pada tempatnya merupakan logika sederhana dari kedzaliman. Membatasi hal-hal yang sudah ditetapkan pada tempatnya adalah bentuk kebobrokan akal dan menistakan kebijaksanaan dimana melalui kampus semesstinya menjadi entitas guardian, gerakan moral terhadap persoalan-persoalan bangsa. Kampus seharusnya menjadi ruang yang bebas, inklusif, dimana arena percakapan sosial dan penggodokan intelektual harus bebas terbuka dalam mendiskusikan segala hal untuk kemajuan pengetahuan dan bangsa.
Bila mengaca pada peradaban Islam pada era keemasannya juga amat terbuka terhadap pengetahuan dan ruang-ruang perdiskusian. Ucap Machiavelli bahwa “Waktu adalah bapak kebenaran” dan dalam sejarahnya peran kampus merupakan pionir utama dalam kemajuan peradaban Islam dahulu kala. Lantas dimana peran serta eksisitensi berdampak kemajuan kampus islam di era kontemporer ini?
Mendiskusikan Realitas termasuk pada garis besar tema yang ingin dibahas tak jauh dari persoalan HAM dan demokrasi, mengargumenkan wacara kritis, mendialektisir perdebatan, merespon isu yang terjadi diluar gerbang universitas merupakan karakter primer intelektual. Begitu terjadinya pendistorsian, penolakan dan sinisme terhadap semua kaidah akademik tersebut, maka tak layak menyebut kampus sebagai sumber dari segala sumber keilmiahan. Maka benar, ia sekedar pabrik yang mencetak memproduksi proletar-proletar baru.!!!!!
Refleksi yang perlu diresapi, kita mahasiswa selaku moral force not political force harus mengecam dengan tegas, sebagaimana kutipan dari salah satu hadist yang berbunyi “Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Akhir kata sebagai penutup, Pak eko Prasetyo mengatakan, “Kemerdekaan berfikir dirampas dikampus, mending mahasiswa kuliah saja di café”. Tapikan lucu bila uang UKT mahal tapi kita tak mendapatkan hak kebebasan yang masif dan malah justru memilih kuliah di café. Melalui persoalan dimuka, Realitas kampus kini tak lain lagi selain harganya yang mahal, marwahnya yang nihil, bercorak eksklusif jauh dari masyarakat, sekaligus krisis identitas terhadap perannya dalam kemajuan bangsa. Terdegradasi dan tak lebih nilainya dari warung-warung kopi pojok kota.
Penulis: Farhan Rizki, Korp Akral Satria
0 Response to "Marwah Kampus Yang Terdegradasi, Tak Lebih Mewah Dibanding Warung Kopi (Kritik Atas Pembatasan Kebebasan Akademik UIN Sunan Kalijaga )"
Post a Comment