Kilometer 50: Diam di Balik Kuasa
Di malam pekat, kilometer lima puluh,
Nyawa terenggut, darah menjadi saksi pilu,
Laskar penjaga, terkapar membisu,
Namun kebenaran tertinggal di jurang waktu.
Mereka yang berseragam, pelindung hukum,
Menjadi tangan dingin pembawa murung,
Bukannya menjaga, mereka menyerang,
Menembus gelap, melumat harapan yang malang.
Di mana pemerintah, suara sang pemimpin negeri?
Ketika rakyat menjerit, meminta arti,
Mengapa kau bungkam dalam sunyi,
Seakan tragedi ini tak terjadi?
Enam jiwa melayang dalam keheningan,
Dituduh tanpa sidang, dihukum tanpa alasan,
Apakah ini hukum yang kau banggakan,
Atau sekadar wajah tirani yang disembunyikan?
Komnas HAM bersuara, mencari terang,
Namun kebenaran terhenti di ruang yang bimbang,
Janji keadilan tak lebih dari bayang,
Sementara rakyat dibiarkan berjuang sendirian.
Seragam biru, lambang kuasa dan hukum,
Mengapa tanganmu membawa murka yang diam?
Apakah sumpahmu kini kehilangan makna,
Atau kau tunduk pada perintah yang membungkam jiwa?
Hei pemerintah, tidakkah kau merasa?
Bahwa luka ini adalah luka bangsa,
Ketika keadilan dibungkam oleh kuasa,
Dan kebenaran terkubur dalam dusta.
Kilometer lima puluh menjadi prasasti,
Tentang tragedi yang merobek nurani,
Bukan hanya soal nyawa yang pergi,
Tapi tentang negara yang kehilangan arti.
Mari ingat bahwa kemerdekaan ini berdarah,
Dibangun di atas nyawa yang tak menyerah,
Namun apa artinya jika hukum berubah,
Menjadi senjata yang menusuk ke arah lemah?
Di kilometer lima puluh, mari berjanji,
Bahwa keadilan takkan mati,
Rakyat akan terus bertanya dan mencari,
Hingga kebenaran kembali berdiri.
Penulis: Mochammad Alreiga Ramdhan, Korp Adhikara Darma
0 Response to " Kilometer 50: Diam di Balik Kuasa"
Post a Comment