UU Omnibus Law: Cilaka atau Celaka?
Senin
(05/10) Pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta
Kerja. Disahkannya UU ini menuai banyak polemik, pasalnya UU yang digadang
dapat memberikan pelayanan terdahap masyarakat dan menciptakan lapangan kerja
seluas-luasnya, justru menjadi ancaman para buruh dan menguntungkan investor
asing.
Diberlakukannya
UU ini, pemerintah berharap dapat mengurangi jumlah pengangguran yang ada di
Indonesia. Disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja dapat menyerap tenaga kerja
sebanyak 2,7 juta hingga-3 juta per-tahun, serta dapat menampung 9,29 juta
orang yang belum bekerja.
Para
buruh/pekerja dengan tegas menolak UU Omnibus Law karena itu merupakan bentuk
penindasan terhadap buruh.Pasca disahkannya UU Cipta Kerja akan membuat UMSK,
yang merupakan hak bagi pekerja hilang, UMK dibuat dengan syarat yang ruwet
seperti lajunya inflasi dan indeks daya beli. Said Iqbal, Presiden KSPI
mengatakan bahwa UMK seharusnya tak dibuat bersyarat, dan UMSK harus tetap ada.
Hal ini dikarenakan besaran UMSK setiap kota berbeda.
Omnibus Law juga akan mengubah skema pemberian
pesangon. Menko Perekonomian akan mengubah skema pembayaran pesangon menjadi 25
kali dari yang sebelumya 32 kali pembayaran. Pemberian pesangon akan dilakukan
oleh pengusaha sebanyak 19 kali dan JKP
(Jasa Kena Pajak) sebanyak 6 kali dari total keseluruhan pesangon yang harus
dibayarkan oleh pelaku usaha kepada korban PHK.
Ketentuan
pekerja outsourcing atau alih daya
juga menjadi salah satu pasal yang disoroti. Pasal 66 ayat (1) yang
berbunyi: Hubungan kerja antara perusahaan alih daya
dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja
waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Pekerja outsourcing dalam
Omnibus Law berbeda dengan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Dalam regulasi
lama, outsourcing dibatasi
dan hanya untuk tenaga kerja di luar usaha pokok. Buruh juga menanggapi soal kontrak kerja
dan outsourcing seumur hidup yang berarti tanpa ada batasan waktu dan
juga jenis pekerjaan. Hal ini dapet menimbulkan potensi jaminan kesehatan dan
pension akan hilang. Dan sebelumnya untuk outsourcing hanya dibatasi untuk 5
jenis.
Kirnadi, Wakil Ketua DPD KSPSI Yogyakarta menjelaskan, dalam
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker), diatur lima bidang di luar
usaha pokok yang bisa di-outsourcing: cleaning service, keamanan,
transportasi, catering, dan jasa minyak dan gas pertambangan. Namun, UU Cipta
Kerja dalam Omnibus Law membuka kemungkinan bagi lembaga outsourcing
mempekerjakan pekerja untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja
peruh waktu. Hal ini akan membuat penggunaan tenaga alih daya atau penydia jasa
pekerja (pihak ke-tiga) semakin bebas.
Dalam UU Cipta Kerja juga dibahas jika
buruh yang akan mendapatkan kompensasi adalah para pekerja yang memiliki masa
kerja minimal 1 tahun. Menurut buruh hal ini merupakan masalah serius karena
bagi pihak yang membayar jaminan akan mengalami kehilangan pekerjaan. Pengusaha
bisa mengontrak buruh di bawah 1 tahun untuk hal ini bertujuan untuk
menghindari biaya kompensasi. Pemerintah pun membantah bahwa UU Cipta Kerja
akan mengancam kepastian/jaminan pendapatan. Tetap lewat UU Cipta Kerja
pemerintah berharap akan dapat menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak 2,7-3
Juta pertahun.
Selain itu, UU Cipta Kerja yang disorot
adalah soal waktu kerja yang bersifat eksploitatif. Karena dalam UU ini diatur
bahwa jam kerja adalah 40 jam dalam seminggu. Tidak adanya batasan hari
memungkinkan pengusaha mengatur sesuka hati jam kerja dengan upah per-jam. Waktu
kerja sudah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 yang secara garis besar begini:
7 Jam/hari untuk 6 hari kerja dan 8 jam/hari untuk 5 hari kerja. Hal ini
berpotensi pengusaha akan memerintahkan para buruh untuk bekerja 12 jam sehari
dalam waktu 4 hari tanpa adanya upah lembur. Dalam UU Cipta Kerja jam lembur
lebih lama jika dibandingkan dengan UU 13 Tahun 2003. UU 13 Tahun 2003 lembur
maksimal 14 jam dan UU Cipta Kerja menjadi 18 jam . Hal ini membuat ketahanan
kesehatan pekerja melemah.
Hilangnya hak cuti dan
hak atas upah cuti kecuali haid, hamil, melahirkan. Tetapi upah buruh tidak
dibayar hal tersebut dapat berdampak buruh perempuan tidak mengambil jatah cuti
mereka karena khawatir dipotong upah. Hal ini akan bertentangan dengan Konvensi
Buruh Internasional yang sudah mengatur bahwa bagi buruh yang mengambil cuti
harus dibayar. UU Cipta Kerja menambah sanksi pidana perburuhan kepada
pengusaha yang tidak memberi cuti tahunan. Namun dalam Pasal 89 tentang
perubahan Pasal 79 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatur istirahat panjang 1
bulan istirahat pada tahun ke-7 dan ke-8 setelah 6 tahun bekerja berturut-turut
ditiadakan.
Cacat
Formil dan Materil
Hubungan antara UU Cipta Kerja dan UU Peraturan
Pembuatan Perundang-Undangan (P3) tidak ada karena UU P3 tidak terkandung
materiil terkait UU Cipta Kerja. Hal ini tetap tidak ada bahkan setelah
dilakukannya pembaharuan pada UU No 15 Tahun 2019. Hubungan antara UU P3
sebagai sebuah landasan pembentukan UU di Indonesia dengan UU Cipta Kerja
sebagai langkah maju bukan berarti tidak ada, karena UU Cipta Kerja akan
menjadi suatu landasan hukum bagi berbagai masalahan sektoral yang terjadi di
Indonesia. Maka untuk melahirkan UU Cipta Kerja harus mengikuti terhadap UU P3
baik dari sisi teknis sampai tata cara/mekanisme perumusannya. Pemerintah tidak
boleh mengabaikan asas partisipasif dalam melakukan mekanisme perumusan.
Melihat
Teori Perundang-undangan kita yang yang sudah diterapkan dalam bentuk Norma
Hukum yang tertuang dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan sudah sangat jelas mengatur secara sistematis materi-materi
pokok tentang asas pembentukannya dan secara tekhnis diatur tentang jenis, hierarki,
materi muatan dan teknik penyusunannya. Jelas bahwa di dalam hierarki dan tata
urutan peraturan perundang-undangan tersbut belum ada konsep Omnibus Law
Sebagai salah satu asas dalam sumber hukum.
Maka,
ketika pemerintah memaksakan UU Cipta Kerja Omnibus Law ini akan mengkualifir
dan melabrak Teori Pembentukan peraturan Perundang-undangan yang sudah diatur
lebih jelas dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan peraturan
perundang-undangan, bukankah hal demikian kemudian akan memunculkan konflik
norma baru lagi padahal tujuan dari omnibus Law ini sebagai Upaya Penyegaran
atau harmonisasi peraturan perundang-undangan.
Pemerintah
dan Juga DPR perlu melakukan identifikasi terhadap UU yang telah dibentuk
sebelumnya berdasarkan amanah dari pasal atau ayat UUD 1945 yang telah melalui
kajian Akademik sebelum di tetapkan, tentu letak kesempurnaan setiap UU
tersebut terletak pada Naskah akademiknya. Pemerintah dan DPR tidak hanya
berhenti sampai disitu ia kemudian harus menggali secara subtansif mengenai
nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945 yang melatar belakangi secara
hierarkis di bentuknya suatu Undang-Undang di bawahnya, karena sejauh ini belum
ada Frasa atau pasal yang ditemukan dalam UUD 1945 untuk menjadi rujukan
diberlakukannya Omnibus Law, yang dijumpai justru setiap pasal dalam UUD 1945
setiap pasalnya mengharuskan di bentuknya hal-hal teknis melalui undang-undang
secara hirarkis.
Transparansi
terhadap pihak publik menjadi salah satu hal yang penting dalam pembentukan RUU
a quo ini. Sebab, dalam konsep demokrasi, elit politik tidak boleh
mengklaim “Lebih tahu dan lebih banyak mengerti” dari pada rakyatnya karena
akan berdampak pada watak masyarakat.
Ketidaksesuaian
antara pemerintah dan masyarakat ini tidak seharusnya terjadi. Pemerintah
berkewajiban menciptakan produk hukum yang sesuai dengan kebutuhan atau
realitas hukum masyarakat dan kepentingan orang banyak, bukan kepentingan
segelintir golongan saja. Hal tersebut sesuai dengan amanat Pasal 10 Ayat (1)
huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang- undangan yang menyebut bahwa materi muatan yang harus diatur dengan
Undang-Undang berisi pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Sehingga sudah
seharusnya dalam penyusunan undang-undang untuk selalu benar-benar mengutamakan
apa yang menjadi kepentingan masyarakat. Pemerintah jangan sampai mempergunakan
kekuasaannya untuk membentuk produk hukum yang justru tidak memberikan
keuntungan bagi masyarakatnya.
Aulia Iqlima, kader Ashram Bangsa angkatan 2019
0 Response to "UU Omnibus Law: Cilaka atau Celaka?"
Post a Comment