Pulang dari Perang Omnibus Law, Matangkan Formulasi
“Tetapi kenangan-kenangan demonstrasi akan
tetap hidup. Dia adalah batu tapal dari pada perjuangan mahasiswa Indonesia,
batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia.
Karena yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran.” – Soe Hok-Gie
Meledaknya
demonstrasi pada 08 Oktober merupakan reaksi mahasiswa dan rakyat bahwa detak
nurani masih tergerak menjunjung tinggi nilai Pancasila yang termaktub pada
poin ke-lima. Masyarakat yang harus
terbengkalai dengan pekerjaannya akibat pandemi Covid-19, dan peraturan pemerintah
yang mencekam para pekerja dan buruh dengan membatasi interaksi sosial yang
berskala besar. Namun, di sela-sela kekhawatiran pandemi yang mencekik,
masyarakat khususnya bagi para buruh menjadi mimpi buruk ketika terdengar
disahkannya RUU Cipta kerja atau omnibus law pada 05 Oktober 2020 pada sidang
rapat paripurna DPR di gedung parlemen.
Gejolak
aksi massa mulai memberontak dan turun ke jalan pada hari di mana RUU Omnibus
Law disahkan pada 05-08 Oktober. Aparat yang seharusnya menjadi keamanan agar tidak
menjadi anarkis membalikkan fakta
menjadi benteng perlindungan pemerintah seakan massa aksi adalah musuh
yang harus dibasmi dan dihilangkan.
Jikalau
kita kombinasikan dari sejumlah data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) bahwa tindakan kekerasan oleh aparat polisi yang terjadi di
18 provinsi bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2010 yang
berisikan tentang bagaimana polisi dapat menanggulagi anarki yang sesuai
berdasarkan pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Lalu, siapakah yang
pantas disalahkan?
Dari
sejumlah keterangan Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras) yang saya dapat pada sebagian daerah, tercatat sebanyak 204
orang massa aksi yang hilang di Malang dan Surabaya, 17 orang dari massa aksi
di Yogyakarta berdasarkan data ARB, dan
sebagian daerah lainnya di seluruh penjuru Indonesia beberapa orang hilang pada
tragedi aksi tolak Omnibus Law menunjukkan secara fakta bahwa tindakan tersebut
adalah bunga anarkis yang publik tidak menahu bagaimana aksi massa yang hilang
tersebut diperlakukan.
Saya
tidak habis pikir mengapa mereka yang menyampaikan aspirasi, dibungkam dan dibentengi
aparat di depan gedung DPR dan dihilangkan sebagian dari massa aksi oleh
aparat, Bukankah mereka yang duduk di bawah sejuknya AC yang juga menikmati
tidur di sela-sela persidangan merupakan hasil dari kumpulan suara rakyat?
Lantas salahkah jika rakyat menyampaikan aspirasinya pada wakil yang sudah
dipercayainya?
Pertanyaan
itu terjawab setelah terjadinya aksi nasional yang bersumber dari ketokan palu
UU Cipta Kerja pada Senin Lalu. Poin-poin penting yang ada dalam draf yang
seharusnya buruh/pekerja di seluruh Indonesia perlu mengetahui poin-poin UU
Cipta dan ketenagakerjaan yang akan berdampak pada seluruh buruh/pekerja.
Namun, sifat terburu-buru dari DPR yang hanya berdasar pada stakeholder yang bisa mewakinya, memang
dibentuk secara tidak transparansi.
Sumber
ketidak-transparasi-an itulah yang saat ini hanya menyisakan puing-puing
sejarah di tengah pandemi ini. Kegiatan aspirasi yang sudah mulai tak didengar
dan wakil rakyat yang sepertinya sudah mulai berbau diktator, maka hak sebagai
rakyat adalah untuk tetap menyuarakan aspirasinya. Perjuangan masih belum usai
di tengah semrawutnya informasi Omnibus Law ini, pematangan formulasi aksi serta estafet dari demonstrasi dikabarkan
akan kembali pada 12-13 Oktober 2020 nanti, di samping menuntut presiden untuk
mengeluarkan Perppu atau melakukan judicial
review ke Mahkamah Konstitusi.
Harapan
bahwa secepatnya tragedi Covid-19 yang mencekam secara global ini segera hilang
dan UU Cipta Kerja di Indonesia yang jauh dari keinginan bersama semoga
menemukan jalan tol yang dapat menerima dari segenap penjuru aspirasi.
Cepat pulih Indonesiaku. Wallahu a’lam..
Lailur Rahman, Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jogja.
0 Response to "Pulang dari Perang Omnibus Law, Matangkan Formulasi"
Post a Comment