Memahami Pesta Demokrasi di Masa Pandemi
Menjelang bulan Desember tahun ini, kita
akan melaksanakan pesta demokrasi Pilkada serentak 2020. Hal ini dapat kita
amati antusias para calon pemimpin daerah yang mendaftarkan diri ke KPU untuk
mengikuti kontestasi di Pemilihan Kepala Daerah mendatang. Sudah menjadi hal
biasa dari tiap pasangan calon dikawal oleh para elit dan tim suksesnya,
lebih-lebih bagian dari massa di tiap paslon mengiringi pendaftaran calon
kepala daerah setempat. Sebagian dari massa pemilih berbondong-bondong dan ikut
andil dalam kerumunan untuk melakukan kampanye; menyukseskan kampanye agar
pilihannya dapat terusung dalam kedudukan pilkada nantinya.
Meskipun dari Kementerian dalam
Negeri (Mendagri) sudah mengingatkan agar pasangan calon tidak membuat
kerumunan, fakta yang terjadi di lapangan hampir dari tiap daerah sering untuk
mengagendakan sebuah perkumpulan. Kekhawatiran dalam Pilkada pun akan
memunculkan kelompok-kelompok yang sangat rentan dalam melakukan semacam
keramaian massa. Apalagi dalam Pilkada 2020 ini sebagaimana kita konsumsi dari
media bahwa pemilihan akan diselenggarakan di 270 daerah di seluruh Indonesia,
tentunya secara serentak massa termobilisasi untuk berpartisipasi menyampaikan
hak suaranya.
Paslon dan elit partai pendukung
sepertinya abai meski dari Mendagri sudah menunjukkan teguran keras terhadap
paslon yang bersikukuh dan melanggar physical
distancing untuk tetep mengadakan sebuah perkumpulan dalam cover kampanye
politik. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Mendagri serasa bukan sebuah ancaman
yang harus ditoleh. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun sudah menerbitkan Peraturan
KPU No 6 Tahun 2020 tentang Pilkada dalam pendemi Covid-19, yang di antaranya
mengatur bila seluruh tahapan dalam Pilkada disesuaikan dengan protokol
kesehatan. Tito Karnavian selaku Mendagri meminta kepada Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) untuk memberikan sikap ketegasannya bagi mereka yang tetap melanggar
protokol kesehatan. Hal ini perlu dilakukan oleh Bawaslu untuk terus-menerus
memberikan informasi ke media yang tak lain sebagai tujuan agar warga dapat
mengenali dan menilai paslon yang sering melanggar peraturan tersebut.
Namun yang perlu juga kita pikirkan
bersama, dalam sistem dan strategi yang sedemikian rupa, apakah massa pemilih
akan mengenal paslon yang sering melanggar peraturan tersebut? Rasanya hinggap bak langau, titik bak hujan. Saya
akan memberikan salah satu analisis contoh di issu yang sedang booming
akhir-akhir ini; Mantan napi korupsi yang diangkat kembali menjadi ASN di
Kabupaten Manggarai di Nusa Tenggara Timur. Serasa dalam penyeleksian tersebut
masih sangat minim dalam menilai aktor-aktor yang sudah ternodai dengan
sandangan mantan koruptor.
Kekuasaan acap kali diperebutkan oleh elit politik. Sehingga jalan meraih kursi empuk
sangat rentan untuk menghalalkan segala cara, salah satunya melanggar protokol kesehatan. Segala hal yang sudah
tergambar dalam sebuah pendaftaran pasangan calon (paslon) rawan untuk
mengakibatkan adanya pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 guna sebagai
langkah kecil untuk menyiasati langkah-langkah licin aturan yang dapat dicari
celahnya.
Pasangan calon yang sudah terdaftar
resmi sebagai kandidat, sejatinya dari mereka memiliki kewajiban moral untuk
menjadi figur dan teladan yang baik bagi rakyatnya. Terkhusus teladan yang taat
aturan di masa pandemi Covid-19 ini. Teruntuk bahan sebagai inisiatif dari
sebuah mobilisasi suara rakyat, paslon dan elit partai pendukung yang
menggandengnya tentu harus dapat menganalisa dengan baik hal-hal yang
dibutuhkan dalam masyarakat. Salah satunya dengan cara menunjukkan perhatian,
kepedulian, dan rasa empatinya pada masyarakat misalnya. Apalagi dalam situasi
pandemi Covid-19 ini. Mengapa harus demikian?
Di
tengah pandemi ini, Kita sudah memasuki tahapan-tahapan persiapan pesta
demokrasi. Tentunya dalam hal ini paslon dan partai pendukung lainnya sangat
berpotensi untuk mengadakan sebuah perkumpulan massa besar-besaran. Dalam pesta
demokrasi kali ini, paslon harus peduli untuk melindungi rakyat agar penularan
virus bisa diantisipasi. Paslon dan elit partai harus memberikan pemahaman
bahwa pesta demokrasi ini tidak hanya sebagai ritual. Namun ada makna
kemanusiaan dalam menyejahterakan kehidupan bangsa, yang tentunya dilakukan
tanpa dengan mencelakai sebuah aturan.
Posisi
kita sebagai rakyat, tentunya harus selektif dalam memilih pimimpin yang akan
diusung sebagai pengabdi dalam masyarakat. Jika dalam tahap awal sudah
mengalami kecacatan dalam melakukan kampanye pemilu, tentunya hal ini harus
menjadi bahan pertimbangan kembali oleh masyarakat pemilih. Jangan sampai
karena faktor politik uang atau hal yang serupa dengan money politic lainnya dapat merambat kecelakaan jangka panjang
bangsa ini.
0 Response to "Memahami Pesta Demokrasi di Masa Pandemi"
Post a Comment